Powered By Blogger

Selasa, 28 Maret 2023

Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan untuk memenggal kepala ketiga Pangeran jogja yang sudah Gugur salah satunya Pangaeran Hangabehi Djoyokusumo

 


Diceritakan di dalam Babad Kedungkebo sebelumnya di Pupuh XLIV Pangkur Bait/Nomor 90-117 bahwa adik Sri Sultan Hamengkubuwana III sekaligus Paman juga Besan Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Pangeran Diponegoro yaitu Pangeran Hangabehi djoyokusumo bin Sri Sultan HB II bersama kedua putranya yaitu Pangeran Riyo Djoyokusumo (Nama nunggak semi, memakai nama ayahnya) menantu Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Riyo Padmokusumo dikepung pasukan antek-antek Belanda di bawah pimpinan Ngabehi Reksodiwiryo yang saat itu bergelar Kyai Adipati Tjokrojoyo yang kelak menjadi Bupati Perdana Purworejo dengan Gelar R.A.A. Tjokronegoro I.
Ketiga Pangeran tersebut dikepung dan dikeroyok oleh anak buah Kyai Adipati Tjokrojoyo diantara nya bernama Hangabehi Wongsosemito, Demang Ranupati, Wirosroyo, Trunadriyo. 

Diceritakan dalam Babad Kedungkebo Pangeran Hangabehi djoyokusumo di tombak dan di tembak tapi tidak mempan tombak dan peluru bahkan surbannya juga tidak mempan lalu Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan para anak buahnya untuk mengambil batu lalu setelah terpojok mereka di kepruk atau dilempari batu hingga mati, setelah mati Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan anak buahnya untuk memenggal ketiga kepala Pangeran yang telah mati tersebut.
Pangeran Mangkubumi dari sebelah jurang meneriaki Kyai Adipati Tjokrojoyo dan anak buahnya untuk tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji dan manusiaawi serta disamakan dengan hewan katak kepada ketiga ksatria yang udah gugur apalagi putra Raja tapi malah di brondong tembakan oleh anak buahnya Kyai Adipati Tjokrojoyo kepada Pangeran Mangkubumi sehingga Pangeran Mangkubumi lari kabur dan itu ditulis di babad Kedungkebo pupuh XLV bait syair nomor 1-17.
Kyai Adipati Tjokrojoyo mendapatkan rampasan keris dari ketiga Pangeran tersebut jumlahnya, yaitu delapan buah, beserta sarungnya, dua buah pedang berlapis, yang sebuah berlapis emas,
kepalanya dengan mata intan yang bercahaya ada yang bercincin selaka, keris tiga yang dengan, ditanami sembilan intan, tombak dengan intan bumi jumlahnya dua buah, yang lugas berjumlah lima buah Semua barang rampasan dikirimkan kepada Tuan Ota semua.

Para ksatria setelah dipenggal kepalanya lalu ditancapkan di tongkat pancang yang mungkin tombak lalu di bawa ke benteng bubutan sampai suatu saat para istri ksatria datang ke benteng bubutan menyampaikan bahwa para ksatria itu adalah putra Raja dan cucu Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saudara dari junjungannya Kyai Adipati Tjokrojoyo yaitu Sri Susuhunan PB VI Raja Kasunan Surakarta Hadiningrat dan Pangeran Kusumoyudo segera Tjokrojoyo mengambil ketiga kepala tersebut di taruh ke dalam peti dan hendak di kubur di desa Beduk tapi membawa ke magelang. Lalu ketiga kepala itu di serahkan ke karaton jogja oleh anak buah Kyai Adipati Tjokrojoyo yang bernama Hangabehi Wongsosemito, pulangnya dari kraton ngayogyakarta si wongsosoemito oleh Tjokrojoyo dihadiahi pedang empat buah, pistol sepasang dan senapan, juga keris berdapur pengantin

Berikut Babad Kedungkebo PUPUH XLV SINOM Syair bait nomor 1-17 :

1. Pangeran Dipanëgara, kang arsa dipun tututi, mring Dipati Tjakrajaya, Jëng Sultan neng nginggil wukir, Basah Wiradirjeki, Basah Wirakusumeku, Basah Sumanëgara, ngajak ngamuk labuh
pati, Wiradirja ngasta këstul narik pëdhang.

Terjemahan : Pangeran Diponegoro yang hendak dikejar, oleh Adipati Tjokrojoyo, Sang Sultan di atas gunung, Basah Prawirodirjo, Basah Wirokusumo,
Basah Kusumonegoro, mengajak mengamuk bela pati, Prawirodirjo memegang pistol menarik pedang.

2. Kangjëng Sultan Heru Cakra, ngandika mring Basah sami, pan kinon lengser sadaya, Jëng Sultan datan marëngi, sarta ngandika aris, ya bënër padha Jaweku, aja dumeh wong Jawa, sun duga
palang nëgari, sun wëtara para basah nora nyonggah.

Terjemahan : Sang Sultan Heru Cokro(Pangeran Diponegoro), berkata kepada para Basah(Panglima), kemudian disuruh
pindah semua, Sang Sultan(Diponegoro) tidak memperbolehkan, serta berkata lembut, ya benar sama-sama Jawanya, jangan mentang-mentang orang Jawa, saya menduga perisai negara, saya kira para basah tidak bisa menandingi.

3. Pan mangsa ana akëlar, yudane palang nëgari, pan saking jinunjung Sukma, sëparane den tut wuri, Nyai Bagëlen ngiring, sanggonipun atut pungkur, Basah Prawiradirja, mirsa timbalaning Aji, kapalira
Wiradirja ginëbagan.

Terjemahan : Dan tidak mungkin ada yang bisa mengakhiri, berperangnya perisai negara, karena sedang dijunjung oleh Tuhan, ke manapun diikuti dari belakang, Nyai Bagelen mengiringi, di tempat manapun diikuti dari belakang, Basah Prawirodirjo, mendengar perintah Sang Sultan, kuda Prawirodirjo dipukul.

4. Wus wangsul sawadyaneki, sarëng prapteng prënahira, Pangran Behi gennya lalis, Jëng Pangran Mangkubumi, apan wontën kidulipun, amung ëlët sajurang, lan Pangran Suryenglageki, lan
malihe Pangeran Adikusuma.

Terjemahan : Sudah kembali beserta pasukannya, begitu sampai tempatnya, tempat
Pangeran Hangabehi Djoyo kusumo meninggal dunia/Gugur, Sang Pangeran Mangkubumi, kemudian berada di sebelah selatannya, hanya terhalang sebuah jurang, dan Pangeran Suryenglogo, dan lagi Pangeran Adikusumo.

5. Panëmbahan sru ngandika, Mangkubumi mring prajurit, nora patut sira padha, samiya tëdhak Mëntawis, bok aja wani-wani, gawe tontonan wong agung, sikara mring satriya, sirahe padha
cinangking, ora urus pangeran mati canthuka.

Terjemahan : Berkata keras Panembahan, Mangkubumi kepada prajurit, tidak patut
kamu semua, sama-sama keturunan Mataram, sebaiknya jangan berani, membuat tontonan orang besar, mempermalukan kepada kesatria,
kepalanya semua ditenteng, tidak mengurusi pangeran mati diperlukan seperti hewan katak.

6. Prajurit ing Tjakrajayan, mirsa ujar salah kapti, tëngginas ngëdrel sënjata, mring Pangeran Mangkubumi, ambëdhil wanti-wanti, prajurit Kya Dipatiku, Dipati Cakrajaya, pambëdhile tan ngobëri,
sakancane Panëmbahan sami mlajar.

Terjemahan : Prajurit Tjokrojoyo, mendengar ucapan salah kehendak, dengan cekatan memberondongkan senjata, kepada Pangeran Mangkubumi, menembak berulang-ulang, prajurit Kyai Adipati, Adipati Tjokrojoyo,
penembakannya tidak memberi kesempatan, Panembahan beserta teman-temannya semua melarikan diri.

7. Sabubare Panëmbahan, mustaka tinigas aglis, binëkta dhatëng Bubutan, bandhangan dhuwung kehneki, wolu cacahe nënggih, dëlasan kandëlanipun, pëdhang kalih sërasah, satunggil pinancang rukmi, këpalanya mawi intën sotya mubyar.

Terjemahan : Sebubarnya Sang Panembahan, kepala (Kepala Ketiga Pangeran) segera dipenggal, dibawa ke Bubutan, rampasan keris jumlahnya, yaitu delapan buah, beserta sarungnya, dua buah pedang berlapis, yang sebuah berlapis emas,
kepalanya dengan mata intan yang bercahaya.

8. Satunggil lepen sëlaka, dhuwung tiga ingkang mawi, pinatik ing nawa rëtna, waos mawi intën bumi, kalih kathahireki, kang lugas gangsal kehipun, prapta beteng Bubutan, wus panggih para
Kumpëni, sirah tiga rinëpotkën Tuwan Kërap.

Terjemahan : Yang satunya bercincin selaka, keris tiga buah yang dengan, ditanami sembilan intan, tombak dengan intan bumi, jumlahnya dua buah, yang lugas berjumlah lima buah, sampai benteng Bubutan, sudah bertemu dengan para Kumpeni, tiga buah kepala dilaporkan kepada Tuan Kerap.

9. Sadaya barang bandhangan, kinintunakën pra sami, mring Tuwan Ota sadaya, kang sirah satriya katri, kinon manjër tumuli, neng Bubutan wus misuwur, sareng ing dintën Akat, ping tëlulas
tanggalneki, Kya Dipati Tjakrajaya tinimbalan.

Terjemahan : Semua barang rampasan, dikirimkan mereka semua, kepada Tuan Ota semua, ketiga kepal kesatria itu, kemudian disuruh menancapkan, di Bubutan sudah termasyhur, begitu pada hari Ahad, tanggal tig belas, kyai Adipati Cokrojoyo dipanggil.

10. Mring Tuwan Kërap Walanda, neng Pëjaja tëngga biting, tinaken angsale sirah, titiga priyayi pundi, Dipati matur aris, cature duk uripipun, angaku nama Basah, namane botën udani, kula botën
pati surup namanira.

Terjemahan : Oleh Tuan Kerap Belanda, di Pejojo menunggu benteng, ditanyai
perolehan kepala itu, ketiga orang priyayi mana, Adipati(Tjokrojoyo) menjawab pelan, katanya ketika masih hidupnya, mengaku bernama Basah,
namanya tidak tahu, saya tidak begitu tahu namanya.

11. Kula wingi atëtanya, mring Tjakradirja Bupati, ature tiyang Mëtaram, tan purun namanireki, botën dangu antawis, Tumënggung Cakrarëjeku, Den Ayune katëkan, pra nyaine Pangran Behi, yen
kang pëjah wontën Sëngir wingi ika.

Terjemahan : Saya kemarin bertanya, kepada Bupati Tjokrodirjo, jawabannya orang-orang Mataram, tidak tahu namanya, tidak lama kemudian,
Tumenggung Tjokrorejo, kedatangan Raden Ayu, para nyai Pangeran Hangabehi(Djojo kusumo) , bahwa yang mati di Sengir kemarin itu.

12. Pangran Behi saputranya, Pangran Jayakusumeki, lan Pangran Padmakusuma, sarëng miyarsa warti, Kyai Cakrajayeki, jroning
manah ngrës kalangkung, ngandika jro wrëdaya, dene wingi liwat kumbi, yen ngakuwa trah Mëtaram sun tan suka.

Terjemahan : Pangeran Hangabehi beserta putera-puteranya, Pangeran Joyokusumo,
dan Pangeran Padmokusumo, begitu mendengar keterangan itu, Kyai Tjokrojoyo, di dalam hati sangat resah, berkata di dalam hati, mengapa
kemarin terlalu tidak mengaku, kalau mengaku keturunan Mataram saya tidak senang.

13. Kya Dipati Tjakrajaya, kalangkung wëlas ningali, enggal matur Kurnelira, sarta Pangran Blitar nënggih, matur marang Kumpëni, panjëran sirah kasuwun, mëstaka tiga pisan, pan arsa dipun
pënëdi, pan pinëtëk dhusun Bëdhug karsanira.

Terjemahan : Kyai Adipati Tjokrojoyo, sangat kasihan melihatnya, segera menyampaikan kepada Sang Kolonel, serta Pangeran Balitar juga,
menyampaikan kepada Kumpeni, pemancangan kepala diminta, ketiga buah kepala sekalian, kemudian hendak diambil, dan kehendaknya kepala tersebut di makamkan di desa beduk.

14. Kurnel sangët kagetira, apa kowe liwat ajrih, yen nyata tëdhak Mëtaram, iya ingkang sami mati, matur Ki Adipati, botën wëdi milanipun, ngong suwun kuwandanya, pan sami tëdhak Mëtawis,
yëkti tunggil sëntanane gusti kula.

Terjemahan : Sang Kolonel sangat terkejut, apa kamu sangat takut, kalau benar-
benar keturunan Mataram, iya mereka yang mati, Kyai Adipati(Tjokrojoyo) berkata "tidak takut makanya saya minta bangkainya, karena mereka keturunan Mataram, pasti satu kerabat denga tuan saya (Junjungan atau tuan Kyai Adipati Tjokrojoyo adalah Pangeran Kusumoyudo dan Sri Susuhunan PB VI yang masih saudara dengan Raja2 dan Pangeran Kasultanan jogja)."

15. Ingkang ngawulakën amba, awit canggah maring kaki, Kurnel luntur manahira, sarta Pangran Blitar ngudi, Tuwan Kurnel marëngi, kang sirah pinëndhët sampun, lajëng kapëtak enggal,
Kurnel angaturi uning, panggëdhene iya dhatëng Tuwan Jendral.

Terjemahan : Yang mengabdikan hamba, mulai kakek canggah sampai kakek, Sang Kolonel luntur hatinya, serta Pangran Balitar meminta dengan sangat, Tuan Kolonel memperbolehkan, kepala mereka sudah diambil, terus
segera dimakamkan, Sang Kolonel memberitahu, pembesarnya iya kepada Tuan Jenderal.

16. Sarëng angsal tigang dina, mustaka kinen mëndhëti, kang sirah katiga pisan, ken madhahi aneng pëthi, sampun angsal sutengsi,
den pundhut mring Jendral Agung, binëkta mring Magëlang, den kintunkën mring Mëtawis, sinarekën tunggil rama tunggil eyang.

Terjemahan : Begitu memperoleh tiga hari, kepala-kepala itu disuruh mengambili,
ketiga buah kepala itu sekalian, disuruh menempatkan di dalam peti, sudah memperoleh sebulan, diambil oleh Jenderal besar, dibawa ke
Magelang, dikirimkan ke karaton yogyakarta, dimakamkan di tempat yang sama dengan ayah dan kakeknya.

17. Kang nyaosakën mëstaka, Behi Wangsasëmiteki, mantuke ginanjar
pëdhang, sëkawan kalawan bëdhil, dhapur pënganten prëkis, mawi kothak srabanipun, Ngëbehi Sasëmita, pinaring këstul sarakit,
sarëng prapteng ngarsanira Kya Dipatya.

Terjemahan : Yang menyampaikan kepala-kepala itu, Hangabehi Wongsosemito, pulangnya dihadiahi pedang, empat buah dan senapan, dapur pengantin
prekis (kecil bagus), dengan kotak suaranya, Hangabehi Wongsosemito, diberi pistol sepasang, begitu sampai di hadaapan Kyai Adipati(Tjokrojoyo) .

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias Ngabehi Reksodiwiryo, Babad Kedungkebo, PUPUH XLV SINOM Syair bait nomor 1-17

Gambar : Ilustrasi tiga kepala manusia yang dipancangkan di tongkat kayu/tombak

By. Ndandung kumala adi

Minggu, 26 Maret 2023

Gugurnya Pangeran Hangabehi Djoyokusumo bin Sultan HB II bersama kedua Putranya yaitu Pangeran Djoyokusumo (Nama nunggak semi), dan Pangeran Padmokusuma yang dikepung pasukan antek Belanda setelah itu di eksekusi oleh anak buah bupati perdana purworejo R.A.A. Tjokronegoro I setelah itu Tjokronegoro memerintahkan untuk memenggal kepala ketiga pangeran tersebut yang telah gugur, hal tersebut ditulis oleh tjokronegoro alias tjokrojoyo alias reksodiwiryo dalam babad Kedung Kebo, Pupuh XLIV Pangkur Nomor 90-117



Gugurnya Pangeran Hangabehi Djoyokusumo bin Sultan HB II bersama kedua Putranya yaitu Pangeran Djoyokusumo (Nama nunggak semi), dan Pangeran Padmokusuma yang dikepung pasukan antek Belanda setelah itu di eksekusi oleh anak buah bupati perdana purworejo R.A.A. Tjokronegoro I setelah itu Tjokronegoro memerintahkan untuk memenggal kepala ketiga pangeran tersebut yang telah gugur, hal tersebut ditulis oleh tjokronegoro alias tjokrojoyo alias reksodiwiryo dalam babad Kedung Kebo, Pupuh XLIV Pangkur Nomor 90-117

90. Tan dangu antaranira, kang mëcalang sigra matur wot sari, dhumatëng Sang Dipatiku, kula matur paduka, sapunika wontën kraman sawëg rawuh, akathah wëtaranira, Kya Dipati datan gati.

Terjemahan : Tidak lama kemudian, yang meronda segera menyampaikan sambil
menyembah, kepada Sang Adipati(Tjokrojoyo), saya menyampaikan kepada paduka, sekarang ada para kraman/pemberontak/makar sedang datang, banyak perkiraannya, Kyai Adipati(tjokrojoyo) tidak memperhatikan.

90. Kya Dipati tjakrajaya, angandika kramane iya ëndi, rada maido ing kalbu, sigra anitih kuda, Kya Dipati Cakrajaya arsa dulu, nulya kraman pinariksa, tinon kathah ingkang baris.

Terjemahan : Kyai Adipati Tjokrojoyo, berkata kepada anak buahnya "para kraman/pemberontak/makarnya iya mana", agak menyesal di dalam hati, segera naik kuda, Kyai Adipati Cokrojoyo hendak melihat, kemudian memeriksa para kraman/pemberontak/makar, kelihatan banyak barisannya.

91. Kya Dipati aneng arga, Hangëbehi Wangsasëmita nënggih, sëmana pan sampun campuh, lawan mëngsah këraman, Kya Dipati Tjakrajaya tandang maju, anyandër sawadyanira, ampilan kang den ulari.

Terjemahan : Kyai Adipati(Tjokrojoyo) berada di gunung, Hangabehi Wongsosemito juga, ketika
itu kemudian sudah berperang, dengan musuh para kraman/pemberontak/makar, Kyai Adipati Tjkrojoyo bersiap maju, mengejar beserta pasukannya, peralatan yang dicari.

92. Sëksana kapanggih nulya, ingkang ngampil tiyang Këduren desi, pan lajëng wau pinundhut, dhumatëng kang kagungan, botën suka kang ngampil sarwi abëkuh, apan lajëng sinabëtan, ngaturkën uning yen Gusti.

Terjemahan : Kemudian segera bertemu, yang membawa orang dari desa Keduren,
kemudian terus diambil, oleh yang empunya, yang membawa tidak suka sambil berkeluh kesah, kemudian terus dicambuk, memberitahukan bahwa Tuan.

93. Anulya waos ingëmbat, mring Dipati aneng asta kumitir, sëksana lajëng acucuh, baris kraman mërtiga, Kangjëng Sultan Heru Cakra Khamid Ngabdul, lan Basah Prawiradirja, lawan Gandakusumeki.

Terjemahan : Kemudian diacungi tombak, oleh Sang Adipati(Tjokrojoyo) di tangan mengarah, kemudian dilukai, barisan makar dibagi tiga, Sang Sultan Hru Cokro Abdul Hamid, dan Basah Prawirodirjo, serta Gondokusumo.

94. Lan Basah Mërtanëgara, lawan Basah Sumanëgara nënggih, Basah Wirakusumeku, wadyane kang kapalan, kawan dasa aneng saluhuring gunung, Pangeran Behi lumampah, Riya Jayakusumeki.

Terjemahan : Dan Basah Mertonegoro, serta Basah Kusumonegoro juga, Basah Wirokusumo, pasukannya yang berkuda, empat puluh orang di atas gunung, Pangeran Hangabehi/B.P.H. Djoyokusumo berjalan kaki, Riyo Joyokusumo (Nama putra Pangeran Hangabehi Djoyokusumo yang juga memakai nama nya, istilah orang Jawa nama nunggak semi alias nama ayahnya dipakai untuk nama anaknya).

95. Den Riya Padmakusuma, anindhihi prajurit dharat sami, wontën satëngahing gunung, ingkang mëdal ing ngandhap, Panëmbahan Mangkubumi malihipun, lan Pangeran Suryenglaga, Pangeran
Kusumaadi.

Terjemahan : Dan Riyo Padmokusumo, mereka memimpin prajurit yang berjalan kaki,
berada di tengah gunung, yang lewat di bawah, dan juga Panembahan Mangkubumi, dan Pangeran Suryenglogo, Pangeran Adikusumo.

96. Pan sami anitih kuda, Pangran Behi den iring santri kalih, prajurit Kya Dipatiku, anurut marang kraman, amrëtiga lampahe prajuritipun, prentahe Kya Adipatya, gëlar garuda angirib.

Terjemahan : Kemudian mereka naik kuda, Pangeran Hangabehi diiringi dua orang santri, prajurit Kyai Adipati(Tjokrojoyo), mengikuti para kraman/pemberontak/makar, dibagi tiga
perjalanan prajuritnya, perintah Kyai Adipati, dengan strategi dan taktik gelar garuda
nglayang.

97. Ingkang baris aneng tëngah, Hangabehi Wangsasëmita nënggih, ngwingking Ki Dipati iku, kapëthuk barisira, Pangran Behi akathah prajuritipun, awëtara mung sawidak, aprang samya rëbut jodhi.

Terjemahan : Barisan yang di tengah, yaitu Hangabehi Wongsosemito, yang di
belakang Kyai Adipati itu, bertemu barisannya, Pangeran Hangabehi/B.P.H. Djoyokusumo bin Sultan HB II jumlah prajuritnya, kira-kira hanya enam puluh orang, mereka berperang.

98. Akathah prajurit pëjah, pan nëm bëlas cacahe ingkang mati, kari pangeran tëtëlu, Pangran Behi kang nama, lawan malih Pangran Jayakusumeku, Pangeran Padmakusuma, sëksana sigra nglarihi.

Terjemahan : Banyak prajurit yang mati, enam belas orang yang mati, tinggal tiga orang pangeran, Pangeran Hangabehi namanya, dan lagi Pangeran Joyokusumo, Pangeran Padmokusumo, kemudian segera melukai.

99. Dhumatëng Wangsasëmita, Pangran Behi wau panumbakneki, Ki Wangsasëmita luput, tinumbak ora këna, sigra milar pan lajëng wau kagulung, prapteng ngandhap jroning jurang, Dipati Tjakrajayeki.

Terjemahan : Kepada Wongsosemito, Pangeran Hangabehi menombaknya, Ki Wongsosemito menghindar, ditombak tidak kena, segera melompat menghindar terus terguling, sampai di bawah di dalam jurang, Adipati tjokrojoyo ini.

100. Prajurite Tjakrajaya, sigra mangsah gangsal pan golong pipis, gangsal sarëng dennya maju, sira pun Trunadriya, Pangran Behi pan sarwi ngandika arum, heh prajurit tëluk ingwang, Trunadriya
anauri.

Terjemahan : Prajurit Tjokrojoyo, segera menyerang lima orang yang bersatu, lima orang bersama-sama mereka maju, dia adalah Trunodriyo, Pangeran Hangabehi, sambil berkata pelan, hai prajurit saya takluk, Trunodriyo menjawab.

101. Inggih yen tëluk sampeyan, jëngandika lah inggih kadi pundi, yen tëmën tëluk satuhu, pan sampun nyëpëng tumbak, angandika Pangran Riya Behi asru, kibir riya lan sumëngah, kasiku maring Hyang Widi.

Terjemahan : Iya kalau kamu takluk, kamu nah iya bagaimana, kalau benar-benar sungguh takluk, jangan memegang tombak, Pangeran Riya Hangabehi/Pangeran Hangabehi Djoyokusumo bin Sultan HB II berbicara keras, takabur dan sum’ah (pamer perbuatan), terhukum oleh Yang Maha Esa.

102. Sëkala rada kalepyan, angandika sarta brëngos pinuntir, heh kowe priye abamu, wong cilik wani ngucap, duduk kowe mungsuh përang lawan ingsun, ëndi aran Tjakrajaya, ingkang padha prentah bumi.

Terjemahan : Seketika agak kelupaan, berkata sambil memelintir kumis, hai kamu bagaimana perintahmu, orang kecil berani berucap, bukan kamu musuh perang denganku, mana yang bernama Tjokrojoyo, yang sama-sama memerintah bumi.

103. Aku iki uwis lawas, dadi Basah tëdhasa tumbak mimis, pësthi aku yen wis lampus, ngandika kalëpatan, rada riya Pangeran andikanipun, kowe dudu bobotira, amungsuha lawan mami.

Terjemahan : Aku ini sudah lama, jadi Basah/Panglima perang Diponegoro kalau mempan tombak peluru, pasti aku sudah mati, mengatakan kesalahan, agak pamer perkataan Sang
Pangeran Pangeran, kamu bukan tandingan, bermusuhan denganku.

104. Nama Wirasraya ngucap, inggih sampeyan wau nantang wani, dhatëng Kya Dipatiningsun, yen tëksih gësang kula, Kya Dipati midhangët ujaring mungsuh, susumbare Jëng Pangeran, Dipati ngandika anjrit.

Terjemahan : Yang bernama Wirosroyo berucap, iya kamu tadi berani menantang, kepada Kyai Adipatiku(Tjokrojoyo), kalau saya masih hidup, Kyai Adipati(Tjokrojoyo) mendengar perkataan musuh, tantangan Sang Pangeran(Hangabehi Djoyokusumo bin Sultan HB II), Sang Adipati(Tjokrojoyo) berkata dengan menjerit/keras.

105. Prentah maring Wirasraya, lah ta mara sira tumbaka aglis, anulya tinumbak asru, kenging lëlëmpengira, nora pasah dëdëre cinandhak kukuh, dhinosokakën kajëngkang, kagulung marang
ing trëbis.

Terjemahan : (Tjokrojoyo) Memerintahkan kepada Wirosroyo, nah ayo segera kamu tombak,
kemudian ditombak dengan keras, mengenai pinggangnya Pangeran Hangabehi, tidak
mempan batang tombaknya ditangkap dengan kokoh, disodorkan terjengkang, terguling di pinggir jurang.

106. Pangeran Jayakusuma, ge tinumbak mring Trunadriya aglis, ingkang kenging baunipun, tëngën pan ora pasah, pan kajëngkang kaglundhung mring jurang trëjung, sarëng wontën jroning jurang,
wau pun Wirasrayeki. Pangeran Joyokusumo, segera ditombak oleh Trunodriyo dengan cepat,
yang terkena bahunya, kanan dan tidak mempan, kemudian terjengkang terguling ke jurang yang curam, begitu berada di dalam jurang, si Wirosroyo.

107. Sigra pinaringan yatra, dhatëng Pangran Behi ingkang maringi, wërni yatra pëcah wau, Wirasraya tan arsa, Jëng Pangeran aparing rupiyah tëlu, apan kalih ringgitira, Wirasraya anampani.

Terjemahan : Segera diberi uang, oleh Pangeran Hangabehi Djoyokusumo yang memberi, berupa
uang pecah, Wirosroyo tidak mau, Sang Pangeran Hangabehi memberi rupiyah tiga lembar, dan dua ringgitnya, Wirosroyo menerimanya.

108. Tinampan ing tangan kiwa, ingkang tëngën nyëpëng waosireki, Pangeran Ngabehi wau, minggah malih mring arga, dhatëng lere Ki Dipati ëlët trëjung, Dipati neng nginggil ngarga, Pangran Behi këmpis-këmpis.

Terjemahan : Diterima dengan tangan kiri, yang kanan memegang tombaknya, Pangeran Hangabehi tadi, naik lagi ke gunung, ke sebelah utara Kyai Adipati(Tjokrojoyo) terhalang jurang yang curam, Sang Adipati di atas gunung, Pangeran Hangabehi terengah-engah.

109. Sarëng wontën ngarsanira, sinënjata pun keri ingkang bëdhil, kang katiban pelor iku, uwange ingkang kiwa, lajëng dipun ping kalih Pangran Behiku, ingkang kenging sërbanira, sërbane tan pasah mimis.

Terjemahan : Begitu berada di depannya, ditembak sudah tertinggal senapannya, yang terkena peluru itu, rahang kirinya, terus yang kedua Pangeran Hangabehi, yang terkena serbannya, serbannya pangeran Hangabehi  tidak mempan peluru.

110. Pangeran Djajakusuma, sinënjata tan pasah dening mimis, pelor gepeng tibanipun, mimis tiba ing jaja, pelor templek kadi dhuwit bundëripun, Kya Dipati Cakrajaya, parentah maring prajurit.

Terjemahan : Pangeran djoyokusumo, ditembak tidak mempan dengan peluru, peluru
jatuhnya pipih, peluru jatuh di dada, peluru menempel seperti uang bundarnya, Kyai Adipati Tjokrojoyo, memerintahkan kepada prajurit.

111. Kinon sami nyëpëng sela, pan sadaya prajurit anjupuki, sadaya anggëgëm watu, tan wontën kaliwatan, nyëpëng sela prajurit gangsal aguyub, tinumbak mring Wirasraya, Jëng Pangeran datan
busik.

Terjemahan : Mereka disuruh memegang batu, kemudian semua prajurit mengambilinya, semua menggenggam batu, tidak ada yang terlewatkan, lima orang prajurit berkumpul memegang batu, ditombak Pangeran Hangabehi Djoyokusumo oleh Wirosroyo, Sang Pangeran tidak terluka sedikitpun.

112. Pangran Behi datan pasah, tumbakira Wirasraya, nulya glis cinandhak mring Pangran kukuh, sigra Ki Wirasraya, dhosokakën landeyane langkung asru, Jëng Pangeran rëbah lënggah, anulya dipun trutuli.

Terjemahan : Pangeran Hangbehi tidak mempan, tombak Wirosroyo, kemudian segera
ditangkap oleh Sang Pangeran dengan kokoh, segera Ki Wirosroyo, menyodokkan batang tombaknya dengan sangat keras, Sang Pangeran roboh terduduk, kemudian dikejar dengan cepat.

113. Tinumbak mring Trunadriya, kenging athi-athi pilingan kering, Wirasraya ge tutulung, anumbak angsal jaja, lajëng dipun kërutugi nuthuk watu, Pangran Behi wus palastra, tandang Pangran tënayeki.

Terjemahan : Ditombak Pangeran Hangabehi Djoyokusumo oleh Trunodriyo, terkena pada rambut pelipis kirinya, Wirosroyo segera membantu Trunodriyo, menombak mengenai dada pangeran Hangabehi Djoyokusumo, terus dilempari dengan batu, Pangeran Hangabehi mati, putera Sang Pangeran segera bertindak.

114. Pangeran Jayakusuma, arsa numbak mring Dëmang Ranupati, Trunadriya ge tutulung, anumbak mring Pangeran, ingkang kenging Pangeran pilinganipun, ingkang tëngën kang watgata, Dëmang Ranupati aglis.

Terjemahan : Pangeran Joyokusumo(Putra pangeran Hangabehi Djoyokusumo yang bernama sama yaitu Pangeran Djoyokusumo juga sekaligus menantu pangeran Diponegoro. Nama nunggak semi), hendak menombak Demang Ranupati, Trunodriyo segera membantu ranupati, menombak kepada Sang Pangeran, yang terkena pelipis Sang Pangeran, yang kanan terluka, Demang Ranupati segera.

115. Tëtulung sigra anumbak, wusnya tëdhas numbake wali-wali, kuwandane ajur nyunyur, lajëng ginutuk sela, wusnya pëjah kang rayi sigra angamuk, nama Den Padmakusuma, angsal numbak mring prajurit.

Terjemahan : Segera membantu menombak, sesudah mempan menombaknya berulang-ulang, bangkainya hancur, terus dilempari batu, sesudah
mati adiknya segera mengamuk, namanya Raden Padmokusumo bin pangeran Hangabehi Djoyokusumo, akan menombak kepada prajuritnya Tjokrojoyo.

116. Ingkang nama Wirasraya, kang den incih nulya pinënthung aglis, landeyan kinarya mënthung, bathukira kang këna, lajëng krungkëb dhatëng kalen kagëlundhung, Dëmang Ranupati sigra, dumrojog lajëng numbaki.

Terjemahan : Yang bernama Wirosroyo, yang diincar kemudian segera dipukul, batang tombak yang dipakai memukul, dahinya yang terkena, terus jatuh tertelungkup ke parit terguling, Demang Ranupati segera, turun dengan cepat terus menombaki.

117. Pan lajëng kinrocok kathah, wusnya pëjah nulya Dipati angling, parentah prajuritipun, kinon ngëthok sadaya, kang mustaka satriya tiga puniku, Kya Dipati Cakrajaya, nututi Sri Narapati.

Terjemahan : Kemudian terus dikroyok ditombaki oleh orang banyak, sesudah mati kemudian
Sang Adipati(Tjokrojoyo) berkata, memerintah prajuritnya, disuruh memenggal semua, kepala ketiga kesatria itu, Kyai Adipati Tjokrojoyo, mengejar Sultan.

Foto. Makam Tubuh Pangeran Hangabehi Djoyokusumo bersama kedua Putranya di Sengir, Kalirejo, Kec. Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I (Gelar Saat menjadi Bupati perdana Purworejo) alias Kyai Adipati Tjokrojoyo (Gelar saat menjadi Bupati Tanggung) alias ngabehi reksodiwiryo (nama asli beliau) dalam babad Kedung Kebo, Pupuh XLIV Pangkur Nomor 90-117.

by. Ndandung Kumolo Adi

Nama Basyah Djoyo Sundargo sering disebut oleh Bupati Perdana Purworejo R.A.A. Tjokronegoro dalam Babad Kedungkebo

 


Nama Basah Djoyo Sundargo sering disebut oleh Bupati Perdana Purworejo R.A.A. Tjokronegoro/Tjokrojoyo/Reksodiwiryo dalam Babad Kedungkebo. Babad Kedung kebo, salah satunya bait Durma XXXII (karya R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Perdana Purworejo)

Nomer 32. Jata Genti kanda kraman kang prapto pangaggenging prajurit Basah Djayasundarga lan kertapangalasan kalawan  reksaprajakeki pangeran putra, nami Dipanegari.

Nomer 33. Ingkang sepuh wus djumeneng nami Sultan erutjokro dulkamid salin namanira kagentosan putra ingkang arso ngrangsang biting dateng tjengkawak sigra tjampuh ngadjurit.

Nomer 34. Pangeran Balitar aneng djro biting tjengkawak sedaya pra priyaji pan amping-ampingan, biteng kang dereng dadyo.
Sakatahe pra kompeni amping-ampingan wedi keno mimis.

Terjemahan nya kurang lebih begini :

32. Berganti musuh kraman/pembrontak yang datang, Pemimpin Prajuritnya Basah Djoyosundargo dan Kertopengalasan bersama Putra Pangeran Diponegoro yang bernama Diponegoro Anom

33. Yang tua sudah menjadi Sultan bergelar Heru cokro abdul Hamid, nama Diponegoro juga dipakai oleh putranya (istilah orang Jawa bila ada anak memakai nama ayahnya disebut "nunggak semi") yang ingin menyerang benteng cengkawak.
Segeralah mereka berperang.

34. Pangeran Balitar ( kemungkinan adalah Pangeran Balitar II ) ada di dalam benteng cengkawak, dan semua bangsawan saling melindungi, benteng(cengkawak) yang belum benar-benar jadi, semua para kompeni saling menjaga takut terkena peluru.

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias Ngabei Reksodiwiryo, Babad Kedung kebo, Durmo XXXII syair bait nomor 32, 33, 34

Foto : Makam Basah Djoyo Sundargo di Lengis Desa Kedung kamal, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo.

by. Ndandung Kumolo Adi 

Foto. Makam Basyah Djojo Sundargo


Nama Raden Ngabehi Djoyo Probongso sebagai seorang pejuang perang jawa/perang Diponegoro banyak ditulis oleh Bupati perdana Purworejo yaitu R.A.A. Tjokronegoro di dalam Buku Babad Kedung Kebo

 


Nama Raden Ngabehi Djoyo Probongso sebagai seorang pejuang perang jawa/perang Diponegoro banyak ditulis oleh Bupati perdana Purworejo yaitu R.A.A. Tjokronegoro di dalam Buku Babad Kedung Kebo, salah satunya bait Durmo XXXII Karya R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Perdana Purworejo

Nomor 39. Lawan malih pangeran Diponegoro(Diponegoro Anom Putra Pangeran Diponegoro) gagah ganggas tan gigrig, datan gugup gagap , gegesnya tan ginega, ngugugu santrijan nengih berbaris kwalandan , gorawatjana behi.

Nomor 40. Ra ngira ki rangga mertaprawira , ngilen nggenira ngusir budjung Djayasundarga, lawan Djajaprabangsa, lawan Djajaprawiraki, Djajadimedja kraman mandek narungi

Nomor 41. Juritira ki Tumenggung djakrajaja mimisnya sampun enting telas kang sudawa seksana sani nglempak, sedja ambeg sureng djurit ki Tjakrajaya tata titi patitis

Nomor 42. Jam setunggal nggenira abratajuda genti ungkih-ingungkih , wadya tjakrajayan, sinendjata Mring kraman seksana satunggal kenging pilinganira sigra niba ing siti.

Nomor 43. Nuljo pelor pinendet mring tjakradjaja tan lebet nggenja kanin ,  rineksa pangeran
Nenggih datan palastra jata resasemitaki ajun-ajunan lan prabangsakeki

Nomor 44. Sasemita ingajat arsa winateng lawan mungsuhireki menggung djaja pragota resasemita ngiwar watang'e tiba ing siti kebandang mengsah.
Resasemita nggendring.

Nomor 45. Barisra ki Tumenggung Tjakradjaja sedaya sami wingwrin, obat mimis telas binunjang mring kraman, sedaya tan anggudili, mladjar sar saran sigra Kumpeni prapti.

Terjemahan nya kurang lebih seperti ini :

39. Dan lagi pangeran Diponegoro(Diponegoro Anom Putra Pangeran Diponegoro) gagah beringas dan tidak takut , tidak merasa gugup dan gusar  geges tan ginega menuruti jiwa Ksatria, berbaris melawan Belanda, behi gorawacana.

40. Tidak menduga Ki Rangga mertaprawira ke barat mengusir dan mengejar Djoyosundargo, Djoyoprobongso, Djoyoprawiro, Djoyodimejo sebagai barisan pemberontak/kraman malah mereka berhenti dan melawan.

41. Perangnya ki Tumenggung Tjokrodjoyo( gelar lain Ngabehi Reksodiwiryo adalah Tjokrojoyo saat menjadi Bupati Tanggung dan Tjokronegoro saat menjadi Bupati Purworejo) pelurunya sudah habis, habis yang sudawa kemudian semuanya nglempak bersedia untuk perang jarak dekat, Ki Tjokrodjoyo siap Hati-hati dan waspada.

42. Jam satu mereka berperang bergantian serang menyerang, prajurit nya tjokrodjoyo diserang oleh para musuh/kraman/pemberontak(Pengikut Diponegoro) kemudian ada satu yang terkena pelipisnya dan terjatuh di tanah.

43. Kemudian peluru di pelipisnya diambil oleh Tjokrodjoyo, dia tidak terluka parah, dijaga Tuhan Yang Maha Esa, dia tidak meninggal .
Saat itu Resasemita berhadap-hadapan langsung dengan Djoyoprobongso.

44. Resamita ingin membentangkan tombaknya kepada lawannya/Djoyoprobangso.
Tumenggung djaja pragota resasemita berlari sampai tombaknya jatuh di tanah dan diambil musuh/djoyoprobangso.
Resasemita berlari terbirit-birit.

45. Barisan ki Tumenggung Tjokrodjoyo semua merasa takut , kehabisan amunisi peluru, dikejar oleh para pembrontak/Kraman sehingga berlari tak peduli arah, berlari tunggang langgang. Lalu segera datang bantuan para kompeni.

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I Alias Tjokrodjoyo alias Ngabehi Reksodiwiryo, Babad Kedung kebo, Durmo XXXII bait syair nomor 39-45

Foto. Makam Raden Ngabehi Djoyo Probongso di belakang masjid Jami At-Takwa Pringgowijayan perbatasan Desa Kiyangkong Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo.


BY. Ndandung Kumolo Adi

Misteri Makam Ondomoi yang berselimut akar di Desa Seboro Pasar, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo

 


Buku Babad Kedung Kebo, Sinom XXXVIII Karya R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Perdana Purworejo

Nomor 17. Mungel saking sabrang wetan keraman nggendring wus gusis lumaju anundjang-nundjang, sar-saran aniba tangi, namung tiyang satunggil, kang mbekta gendera wau, kang kenging ladjeng petjah, sempal wonge nggondol mimis, genderanya ki Tumenggung suradirja.

Nomor 18. Mungel kaping kalihira
Kayu pelen ingkang kenging, nanging nisip angsalira, mimisira ambaluki, oleh sirah priyayi, Ondomoi kang katudju, sirahnya sasisih kena, ondomoi angemasi, kyai dipati tjakrajaja lampahiro.

Terjemahannya kurang lebih begini :

17. Terdengar dari sebrang timur kraman alias pembrontak(Pengikut Pangeran Diponegoro) berlari dan habis, berlari terbirit-birit kaget sampai jatuh bangun hanya satu orang yang membawa bendera, yang terkena terus mati, patah orang nya terkena peluru, benderanya ki Tumenggung surodirjo

18. Bunyi dua kali, kayu pelen yang terkena, tapi keliru sasarannya, pelurunya membalik, mengenai kepala priyayi, Ondomoi yang tertuju,  kepala satu sisi terkena, Ondomoi mati, kyai adipati Tjokrodjoyo jalannya

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I Alias Tjokrodjoyo alias Ngabehi Reksodiwiryo, Babad Kedung kebo, Sinom XXXVIII nomor 17-18

Foto. Makam Ondomoi yang berselimut akar di Desa Seboro Pasar, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo.

Ondomoi dari bahasa Kawi "Kandamuhi", menawi Ondomoi piyambak di Kraton statusnya seperti petugas koordinator di Kraton.

by. Ndandung kumolo adi

GAYA KERAJAAN ISLAM TERBESAR DAN TERKUAT DI DUNIA YAITU TURKI UTSMANI MEMPENGARUHI BUDAYA, POLITIK, KASUSTRAAN, DAN PEMBERONTAKAN DI NUSANTARA KHUSUSNYA JAWA

 


GAYA KERAJAAN ISLAM TERBESAR DAN TERKUAT DI DUNIA YAITU TURKI UTSMANI MEMPENGARUHI BUDAYA, POLITIK, KASUSTRAAN, DAN PEMBERONTAKAN DI NUSANTARA KHUSUSNYA JAWA

Jawa telah lama menyadur cerita tentang Kekaisaran Ottoman/Kesultanan Ottoman/Kesultanan Turki/Kekaisaran Utsmaniyah atau Turki Utsmani adalah kekaisaran lintas benua yang didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey di barat laut Anatolia pada tahun 1299. Setelah tahun 1354, Utsmaniyah melintasi Eropa dan memulai penaklukkan Balkan, mengubah negara Utsmaniyah yang hanya berupa kadipaten kecil menjadi negara lintas benua. Utsmani mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur seiring penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II tahun 1453.
Kekaisaran Ottoman atau Turki Utsmani di Jawa terkenal disebut dengan negeri Ngerum/Rum/Turki dalam kesusastraannya.
Kisah-kisah di dalamnya banyak menceritakan tentang kehebatan tokoh dan penguasa dari negeri Turki Utsmaniyah itu. Sebut saja cerita Wayang Menak Amir Hamza dengan tokoh Umar Moyo dan Umar Mahdi, dongeng Aji Saka, atau ramalan-ramalan Jayabaya yang menuturkan Sultan Turki Utsmaniyah akan menata pemukiman dan peradaban Jawa.
Bahkan, Serat Centini yang ditulis pada 1813 buku ke IV menyebutkan bahwa Tanah Jawa akan dibebaskan seorang keturunan Erucokro (Ratu Adil) dari Rum/Turki.
Kerajaan-Kerajaan di Jawa juga menginginkan legitimasi kekuasaannya juga penobatan Raja dari Sultan Turki Utsmani, makanya banyak simbol-simbol Turki Utsmani di Kerajaan-Kerajaan Jawa.

Kisah-kisah dalam kesusastraan jawa juga mengilhami beberapa pemberontakan di Jawa, dengan menggunakan simbol-simbol Utsmaniyah sebagai basis legitimasinya.
Pangeran Diponegoro bukan satu-satunya tokoh perlawanan Jawa yang menggunakan simbol dan identitas Utsmaniyah, bahkan nama “Pengeran Diponegoro” dan sebutan “Erucokro” yang disandangnya pun sudah pernah digunakan oleh tokoh perlawanan Jawa pada abad sebelumnya.

pada januari 1817, apa yang disebut peristiwa syekh rahman alias umar mahdi terjadi di bagelen timur, dinamakan menurut panggilan seorang penduduk daerah kekuasaan yogya di desa sambiroto, kabupaten nanggulan, kulon progo (Dumont 1931 : 321),
orang ini syekh rahman menyandang gelar Raden Mas Umar Mahdi dan mencanangkan dirinya sebagai Ratu Adil mendatang. ia menarik perhatian para penguasa yogya tatkala mengundang ke suatu pertemuan sekitar lima puluh pengikutnya, termasuk empat orang perempuan, lengkap bersenjatakan tombak, pedang pendek, dan keris. pertemuan itu agaknya diadakan di desa Sneppo (Senepo) dekat Tanggung di Kabupaten Semawung (di Tahun 1831 senepo tepat sebelah barat kabupaten Purworejo, purworejo baru ada di tahun 1831) pada 2 Januari 1817. semua yang hadir dilaporkan menggunakan jubah putih dan sorban aneka warna (Sumber : Dj.Br. 60, D.W. Pinket van Haak (Yogyakarta) kepada H.G. Nahuys van Burgst (Semarang), 9-1-1817; UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 7, D.W. Pinket van Haak (yogyakarta) kepala komisaris jenderal (Batavia), 10-1-1817, termasuk terjemahan laporan bahasa jawa oleh ibnu iman, pejabat agama (pengulu) untuk seorang bupati daerah kekuasaaan yogya yaitu Kabupaten Tanggung, Mas Ngabehi Sumotirto pada 11 Sapar, Be, 1744 J (31-12-1816), Yang diterjemahkan oleh J.W. Winter. ada juga referensi/rujukan pendek pada peristiwa ini dalam "Tijdschrift van Nederlandsch Indie 23 (1861): 298. Senepo juga disebut "Sneppo" dalam laporan ini yang sesui dengan peta perang jawa yang dibuat oleh Mayor Stuarts menantu jenderal de Kock yang di dalam peta tertulis "Sneppo").

sebelum pertemuan sang umar mahdi telah menulis surat kepada seorang pejabat Kawedanan di Tanggung, suatu daerah kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Sumber  : Karanganjar 1931 :6). yang meminta dia mendirikan tempat penginapan dan tempat pertemuan atau Paseban. Umar mahdi memanggil hatinya dengan gelar "Tumenggung", mahdi meminta pejabat tersebut menghadiri pertemuan dengan membawa serta sebanyak mungkin pengikutnya, yang semuanya menunggang kuda (Sumber : AN. Geheim Besluit van den Commissarissen General, 21-1-1817 no. 1, Umar Mahdi(Sambiroto) kepada Mas Tumenggung (sic) Sumotirto (Tanggung), t.t (31-12-1816). Menurut karanganjar 1931:6, ada empat pejabat kasultanan ngayogyakarta Hadiningrat di bagelen timur sebelum perang jawa yang diberi hak menggunakan gelar tumnenggung ada empat dan sumotirto tidak termasuk diantara mereka, mereka adalah : 1. Raden Tumenggung Sawonggaling sebagai Bupati Kabupaten Semawung  dengan luas 8.000 cacah, 2.Raden Tumenggung Tirtonegoro bupati kabupaten Tanggung, dengan luas 6.000 cacah, dan 3. para bupati batusapi dan bapangan (masing-masing 3.000 cacah, 4. selain itu ada daerah kekuasaan kasunanan surakarta hadiningrat yaitu kabupaten kutowinangun dengan bupatinya Raden Tumenggung Arung Binang (paduka tombak merah) dengan luas wilayah 6.000 cacah).

Menurut karanganjar 1931:6, ada empat pejabat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Bagelen timur sebelum perang jawa yang diberi hak menggunakan gelar Tumenggung dan sumotirto tidak termasuk diantara mereka, mereka adalah :

Raden Tumenggung Sawonggaling sebagai Bupati Kabupaten Semawung  dengan luas 8.000 cacah,
Raden Tumenggung Tirtonegoro Bupati kabupaten Tanggung, dengan luas 6.000 cacah,
Bupati batusapi luas 3.000 cacah dan,
Bapangan luas 3.000 cacah.  selain itu ada daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat yaitu Kabupaten Kutowinangun dengan bupatinya Raden Tumenggung Arung Binang (paduka tombak merah) dengan luas wilayah 6.000 cacah.
sepuluh panji putih, yang dirujuk dalam laporan itu sebagai umbul-umbul dikibarkan di masjid setempat. lalu sang Umar mahdi/ Syekh rahman menyatakan kepada  para pendukungnya bahwa Raden Tumenggung Sawunggaling Bupati Semawung diminta untuk melepaskan Jabatannya sebagai Bupati.

hari penetapan  Syech Rahman menjadi umar mahdi ada dalam kalender jawa 18 sapar 1744 J (Kamis, 9 Januari 1817) ditetapkan tatkala ia menyatakan diri sebagai Ratu Adil dan semua penduduk bagelen baik jawa maupun tionghoa akan ditundukkan (Sumber : UBL., BPL, 616 Port. 5 pt. 7, Mas Ngabehi Sumotirto(tanggung) kepada Mas Ngabehi Kertorejo(Surakarta), t.t, (? januari 1817); Dj. Br, 40, J.D. Kruseman (Yogyakarta) Kepada Secretaris van Staat (Sekneg, Batavia), 9-1-1817).

Namun kemudian suatu laporan Pejabat Asisten-Residen yogyakarta, J.D. Krusemen (menjabat 1816-1817), menyiratkan bahwa umar mahdi mengeluarkan sejumlah perintah menakutkan kepada pengikutnya. perintah-perintah ini dimaksudkan untuk membuat para pengikutnya bergerak menuju pusat pertenunan kampung Tionghoa Jono (sekarang desa jono, kecamatan bayan, kabupaten purworejo) dimana disana terdapat sejumlah penduduk tionghoa yang bekerja sebagai saudagar dan pedagang kain. semua "Tionghoa kaya" jono harus dibunuh.

para pengikut Umar mahdi kemudian harus maju melalui pegunungan menoreh magelang dan dari sana lalu menemui Sultan Hamengkubuwono untuk turun tahta (Sumber : UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 11 J.D. Kruseman (Yogyakarta) kepada Secretaris van Staat (Sekneg Batavia), 14-1-1817.)

dalam suatu laporan pribadi yang diserahkan oleh seorang pejabat agama setempat di Tanggung yang telah bertemu Syekh rahman alias Umar mahdi/ratu adil. Umar mahdi digambarkan telah mencanangkan diri sendiri sebagai seorang prajurit Sultan Turki Usmani, yang disebut Sultan Rum (Sumber : UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 7, laporan Ibnu Iman (Tanggung), t.t. (? januari 1817) dimana mahdi digambarkan sebagai seorang prajurit Sultan Turki Usmani, tentang pandangan masyarakat jawa terhadap Raja Turki usmani/sultan Rum).

dia mengumumkan bahwa Sultan Turki telah menyuruhnya menjaga sambiroto karena sultan sendiri akan tiba disana didampingi oleh syekh saydina muhammad, syekh rahman waliyullah (alias umar mahdi), dan tiga puluh syekh lain lagi, semua datang dari negeri arab. tujuan sultan itu adalah mengangkat syekh rahman waliyullah (umar mahdi) sebagai Ratu adil penguasa jawa yang baru. yang akan dilakukan pada bulan jawa sapar (22 Desember 1816-20 januari 1817). (Sumber : inilah bulan tatkala "Raja Mekah" diharapkan muncul di jawa pada 1788, Ricklefs 1974a:93.)

Syekh rahman alias umar mahdi akan dibantu oleh seorang diantara wali islam di jawa yaitu Sunan bonang yang akan menjadikan dirinya sendiri sebagai "marsekal tempur" di semarang. seorang lagi pengikut Sultan Usmani yaitu "Umar Moyo" akan bertindak serupa di kedu. dua orang tersebut yaitu syekh rahman dan umar moyo akan bantu menyucikan jawa. pengumuman juga dikirim ke Raja-raja jawa terdahulu yang isinya sebagai berikut :

"perintah dari aku ratu adil kepada tuan haji idris yang mermerintahkan semua haji dibawah kekuasaannya dikumpulkan dan diberitahukan bahwa mereka yang pernah tinggal di mekah harus kembali kesana dan demikian juga dengan mereka yang tinggal di medinah. karena yang emas harus kembali menjadi emas, dan yang perak menjadi perak".(Sumber : AN, Geheim Besluit van den Commissarissen General, 21-1-1817 no. 1 yang disebut Haji Idris tampaknya ialah kepala para haji keraton kasultanan ngayogyakarta hadiningrat  dibawah kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono II.).

Tidak lama sesudah pertemuan itu, syekh rahman alias Umar Mahdi dipenjarakan bersama 36 pengikutnya. setelah diperiksa oleh pejabat residen yogya, syekh rahman alias umar mahdi dinyatakan tidak bisa bicara Arab hanya bisa berbahasa jawa dengan logat jogja yang kental (Sumber : UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 11, J.D. Kruseman (yogyakarta) kepada Secretaris van Staat (sekneg Batavia), 14-1-1817.), semula dijatuhi hukuman mati, keputusan itu kemudian diubah menjadi pengasingan untuk seumur hidup mengingat "Kegilaan-nya". para pengikutnya di hukum cambuk.

pemberontakan di Senepo (Kutoarjo) dan Bagelen Timur yang dipimpin oleh tokoh bernama Raden Umar Mahdi, nama yang sama dengan tokoh dalam cerita Menak Amir Hamza. Umar Mahdi mengaku sebagai calon Ratu Adil (Erucokro) dan seorang prajurit sultan Utsmaniyah. Dia mengaku diperintahkan untuk menjaga Sambiroto, Nanggulan Kulon Progo yang akan digunakan sultan Utsmaniyah untuk menahbiskan dirinya sebagai penguasa Jawa diiringi Syekh Saidina Muhammad, Syekh Rahman Waliyullah (nama Umar Mahdi sendiri), dan tiga puluh syekh lainnya dari negeri Arab. Umar Mahdi juga mengaku akan didampingi oleh seorang wali abad ke-15, yaitu Sunan Bonang dan seorang pengikut sultan Utsmani bernama Umar Moyo, nama yang sama dengan tokoh cerita Menak Amir Hamza.

Dua tahun setelah pemberontakan Umar Mahdi, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Sidul Aku, seorang guru agama dari Gresik. Pemberontakan terjadi di Ketonggo Madiun (masuk wilayah Kesultanan Yogyakarta), tempat yang diyakini orang Jawa saat itu sebagai basis Ratu Adil Jawa yang akan membangun kekuasaan. Kemunculan didukung penduduk Japan (Mojokerto), Rowo (Tulung Agung), da Malang.

Kiai Sidul juga menyebut mendapat perintah dari Sultan Utsmani dengan gelar Jenderal dari Atas Angin yang bersemayam di Rum. Penobatan sang Jenderal dari Rum ini rencananya akan dilakukan di Malang dengan target untuk menyerang Surabaya, Bangil, dan Pasuruan demi mengusir orang-orang Eropa dan Tionghoa.

Setelah pemberontakan Umar Mahdi dan Kiai Sidul Aku, ada pemberontakan Kiai Imam Sampurno di Lodaya Srengat Kediri dan tokoh yang menyebut dirinya sebagai Sunan Waliyullah di Madiun. Mereka juga menyebut dirinya sebagai Ratu Adil atau Erucokro Tanah Jawa. Bahkan sebelum pemberontakan para tokoh Jawa abad ke-18 tersebut di atas, terjadi pemberontakan pada 1718-1723 yang dipimpin oleh tokoh bernama Pangeran Diponegoro dari Surakarta yang juga menggunakan gelar “Erucokro.”

Pangeran Diponegoro abad-17 tersebut diceritakan menghilang di Lumajang saat pertempuran dianggap tidak menguntungkan dan dia dikabarkan akan kembali untuk menuntaskan tugasnya sebagai Ratu Adil Tanah Jawa. Ricklefs, seperti dikutip oleh Carey mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro tidak menghilang tapi tertangkap pada 1723 dan diasingkan di Tanjung Harapan.

Peristiwa-peristiwa pemberontakan sejak abad ke 17,18, sampai abad 19 di Jawa di atas menunjukkan dua kecenderungan dalam membangun dasar legitimasi :
1) penggunaan nama Utsmaniyah/Ngerum/Rum agar nampak disokong dan di legimitasi oleh imperium kerajaan islam terkuat dunia saat itu; dan
2) penggunaan ideologi Ratu Adil/Erucokro untuk mencitrakan para tokoh utamanya sebagai sang Pembebas Tanah Jawa.

Dari sini kita menjadi tahu mengapa Pangeran Diponegoro, tokoh utama perang Jawa di abad 18 tahun 1825-1830 menahbiskan dirinya sebagai Kanjeng Sultan Abdulkhamid Erucokro. Abdul Hamid adalah nama salah satu khalifah Utsmaniyah yang berkuasa pada 1774-1789. Kita juga tahu, mengapa pemimpin perang Jawa itu memilih nama “Pangeran Diponegoro”, nama yang sudah pernah disandang oleh pemimpin pemberontak Jawa abad ke-17 untuk menggantikan nama sebelumnya “Raden Mas Ontowiryo.”
Pangeran Diponegoro mengetahui nama-nama kesatuan tentara Khilafah Utsmaniyah; Turkio, Bulkio, dll yang kemudian menjadi nama pasukan Jawa melawan Belanda.
-----------------------------------

Sumber :

  • 1. Dumont 1931 : 321
  • 2. dK 158 "Lyst der personen welke zich als muitelingen hebben opgeworpen"(Daftar orang yang bergabung kepada pemberontak) (dengan anotasi H.M. de Kock), Magelang, 12 -1829. selain Diponegoro sendiri dan seorang putranya, daftar itu mencantumkan nama-nama tokoh di pihak Diponegoro yang berlindung di Sambiroto pada beberapa masa selama perang jawa sebagai berikut : Pangeran Joyokusumo (Ngabei) dan putranya Raden Mas Sadikin (Pangeran Menurut karanganjar 1931:6, ada empat pejabat kasultanan ngayogyakarta Hadiningrat di bagelen timur sebelum perang jawa yang diberi hak menggunakan gelar tumnenggung ada empat dan sumotirto tidak termasuk diantara mereka, mereka adalah : 1. Raden Tumenggung Sawonggaling sebagai Bupati Kabupaten Semawung  dengan luas 8.000 cacah, 2.Raden Tumenggung Tirtonegoro bupati kabupaten Tanggung, dengan luas 6.000 cacah, dan 3. para bupati batusapi dan bapangan (masing-masing 3.000 cacah, 4. selain itu ada daerah kekuasaan kasunanan surakarta hadiningrat yaitu kabupaten kutowinangun dengan bupatinya Radeb Tumenggung Arung Binang (paduka tombak merah) dengan luas wilayah 6.000 cacahJoyokusumo II), Pangeran Adinegoro, Pangeran Purboyo, dan Pangeran Suryadi (putra-putra Hamengkubuwono III), Pangeran Notodipuro dan Pangeran Suryodipurp (putra-putra Hamengkubuwono II), Kyai mojo, kyai hasan besari, Haji Badarudin, dan seseorang bernama "Kyai Guru" (mungkin Muhammad pekih ibrahim madyokusumo ataupun Tuan guru loning), juga 14 bupati kekuasaan jogja.).
  • 3. Dj.Br. 60, D.W. Pinket van Haak (Yogyakarta) kepada H.G. Nahuys van Burgst (Semarang), 9-1-1817; UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 7, D.W. Pinket van Haak (yogyakarta) kepala komisaris jenderal (Batavia), 10-1-1817, termasuk terjemahan laporan bahasa jawa oleh ibnu iman, pejabat agama (pengulu) untuk seorang bupati daerah kekuasaaan yogya yaitu Kabupaten Tanggung, Mas Ngabehi Sumotirto pada 11 Sapar, Be, 1744 J (31-12-1816), Yang diterjemahkan oleh J.W. Winter pendek pada peristiwa ini dalam "Tijdschrift van Nederlandsch Indie 23 (1861): 298. Senepo juga disebut "Sneppo" dalam laporan ini yang sesui dengan peta perang jawa yang dibuat oleh Mayor Stuarts menantu jenderal de Kock yang di dalam peta tertulis "Sneppo"
  • 4. Karanganjar 1931 :6
  • 5. AN. Geheim Besluit van den Commissarissen General, 21-1-1817 no. 1, Umar Mahdi(Sambiroto) kepada Mas Tumenggung (sic) Sumotirto (Tanggung), t.t (31-12-1816).
  • 6. Menurut karanganjar 1931:6, ada empat pejabat kasultanan ngayogyakarta Hadiningrat di bagelen timur sebelum perang jawa yang diberi hak menggunakan gelar tumnenggung ada empat dan sumotirto tidak termasuk diantara mereka, mereka adalah : 1. Raden Tumenggung Sawonggaling sebagai Bupati Kabupaten Semawung  dengan luas 8.000 cacah, 2.Raden Tumenggung Tirtonegoro bupati kabupaten Tanggung, dengan luas 6.000 cacah, dan 3. para bupati batusapi dan bapangan (masing-masing 3.000 cacah, 4. selain itu ada daerah kekuasaan kasunanan surakarta hadiningrat yaitu kabupaten kutowinangun dengan bupatinya Radeb Tumenggung Arung Binang (paduka tombak merah) dengan luas wilayah 6.000 cacah.
  • 7. UBL., BPL, 616 Port. 5 pt. 7, Mas Ngabehi Sumotirto(tanggung) kepada Mas Ngabehi Kertorejo(Surakarta), t.t, (? januari 1817); Dj. Br, 40, J.D. Kruseman (Yogyakarta) Kepada Secretaris van Staat (Sekneg, Batavia), 9-1-1817).
  • 8. UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 7, laporan Ibnu Iman (Tanggung), t.t. (? januari 1817) dimana mahdi digambarkan sebagai seorang prajurit Sultan Turki Usmani, tentang pandangan masyarakat jawa terhadap Raja Turki usmani/sultan Rum.
  • 9. inilah bulan tatkala "Raja Mekah" diharapkan muncul di jawa pada 1788, Ricklefs 1974a:93.).
  • 10. AN, Geheim Besluit van den Commissarissen General, 21-1-1817 no. 1 yang disebut Haji Idris tampaknya ialah kepala para haji keraton kasultanan ngayogyakarta hadiningrat  dibawah kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
  • 11. UBL, BPL 616 Port. 5 pt. 11, J.D. Kruseman (yogyakarta) kepada Secretaris van Staat (sekneg Batavia), 14-1-1817
  • 12. Peter carey : Kuasa Ramalan. Hlmn. 564, 565, 566, 567.
  • 13. Serat Centini Buku IV.
  • 14. Kerajaan Islam Pertama di Jawa karya De Graaf dan Pigeaud.


By. Nka

Kutoarjo

Desa Tursino Kutoarjo di dalam kanccah perang jawa juga tercatat di Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Pertama Purworejo

  Di Dalam Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R....

Kutoarjo