Powered By Blogger

Selasa, 28 Maret 2023

Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan untuk memenggal kepala ketiga Pangeran jogja yang sudah Gugur salah satunya Pangaeran Hangabehi Djoyokusumo

 


Diceritakan di dalam Babad Kedungkebo sebelumnya di Pupuh XLIV Pangkur Bait/Nomor 90-117 bahwa adik Sri Sultan Hamengkubuwana III sekaligus Paman juga Besan Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Pangeran Diponegoro yaitu Pangeran Hangabehi djoyokusumo bin Sri Sultan HB II bersama kedua putranya yaitu Pangeran Riyo Djoyokusumo (Nama nunggak semi, memakai nama ayahnya) menantu Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Riyo Padmokusumo dikepung pasukan antek-antek Belanda di bawah pimpinan Ngabehi Reksodiwiryo yang saat itu bergelar Kyai Adipati Tjokrojoyo yang kelak menjadi Bupati Perdana Purworejo dengan Gelar R.A.A. Tjokronegoro I.
Ketiga Pangeran tersebut dikepung dan dikeroyok oleh anak buah Kyai Adipati Tjokrojoyo diantara nya bernama Hangabehi Wongsosemito, Demang Ranupati, Wirosroyo, Trunadriyo. 

Diceritakan dalam Babad Kedungkebo Pangeran Hangabehi djoyokusumo di tombak dan di tembak tapi tidak mempan tombak dan peluru bahkan surbannya juga tidak mempan lalu Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan para anak buahnya untuk mengambil batu lalu setelah terpojok mereka di kepruk atau dilempari batu hingga mati, setelah mati Kyai Adipati Tjokrojoyo memerintahkan anak buahnya untuk memenggal ketiga kepala Pangeran yang telah mati tersebut.
Pangeran Mangkubumi dari sebelah jurang meneriaki Kyai Adipati Tjokrojoyo dan anak buahnya untuk tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji dan manusiaawi serta disamakan dengan hewan katak kepada ketiga ksatria yang udah gugur apalagi putra Raja tapi malah di brondong tembakan oleh anak buahnya Kyai Adipati Tjokrojoyo kepada Pangeran Mangkubumi sehingga Pangeran Mangkubumi lari kabur dan itu ditulis di babad Kedungkebo pupuh XLV bait syair nomor 1-17.
Kyai Adipati Tjokrojoyo mendapatkan rampasan keris dari ketiga Pangeran tersebut jumlahnya, yaitu delapan buah, beserta sarungnya, dua buah pedang berlapis, yang sebuah berlapis emas,
kepalanya dengan mata intan yang bercahaya ada yang bercincin selaka, keris tiga yang dengan, ditanami sembilan intan, tombak dengan intan bumi jumlahnya dua buah, yang lugas berjumlah lima buah Semua barang rampasan dikirimkan kepada Tuan Ota semua.

Para ksatria setelah dipenggal kepalanya lalu ditancapkan di tongkat pancang yang mungkin tombak lalu di bawa ke benteng bubutan sampai suatu saat para istri ksatria datang ke benteng bubutan menyampaikan bahwa para ksatria itu adalah putra Raja dan cucu Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saudara dari junjungannya Kyai Adipati Tjokrojoyo yaitu Sri Susuhunan PB VI Raja Kasunan Surakarta Hadiningrat dan Pangeran Kusumoyudo segera Tjokrojoyo mengambil ketiga kepala tersebut di taruh ke dalam peti dan hendak di kubur di desa Beduk tapi membawa ke magelang. Lalu ketiga kepala itu di serahkan ke karaton jogja oleh anak buah Kyai Adipati Tjokrojoyo yang bernama Hangabehi Wongsosemito, pulangnya dari kraton ngayogyakarta si wongsosoemito oleh Tjokrojoyo dihadiahi pedang empat buah, pistol sepasang dan senapan, juga keris berdapur pengantin

Berikut Babad Kedungkebo PUPUH XLV SINOM Syair bait nomor 1-17 :

1. Pangeran Dipanëgara, kang arsa dipun tututi, mring Dipati Tjakrajaya, Jëng Sultan neng nginggil wukir, Basah Wiradirjeki, Basah Wirakusumeku, Basah Sumanëgara, ngajak ngamuk labuh
pati, Wiradirja ngasta këstul narik pëdhang.

Terjemahan : Pangeran Diponegoro yang hendak dikejar, oleh Adipati Tjokrojoyo, Sang Sultan di atas gunung, Basah Prawirodirjo, Basah Wirokusumo,
Basah Kusumonegoro, mengajak mengamuk bela pati, Prawirodirjo memegang pistol menarik pedang.

2. Kangjëng Sultan Heru Cakra, ngandika mring Basah sami, pan kinon lengser sadaya, Jëng Sultan datan marëngi, sarta ngandika aris, ya bënër padha Jaweku, aja dumeh wong Jawa, sun duga
palang nëgari, sun wëtara para basah nora nyonggah.

Terjemahan : Sang Sultan Heru Cokro(Pangeran Diponegoro), berkata kepada para Basah(Panglima), kemudian disuruh
pindah semua, Sang Sultan(Diponegoro) tidak memperbolehkan, serta berkata lembut, ya benar sama-sama Jawanya, jangan mentang-mentang orang Jawa, saya menduga perisai negara, saya kira para basah tidak bisa menandingi.

3. Pan mangsa ana akëlar, yudane palang nëgari, pan saking jinunjung Sukma, sëparane den tut wuri, Nyai Bagëlen ngiring, sanggonipun atut pungkur, Basah Prawiradirja, mirsa timbalaning Aji, kapalira
Wiradirja ginëbagan.

Terjemahan : Dan tidak mungkin ada yang bisa mengakhiri, berperangnya perisai negara, karena sedang dijunjung oleh Tuhan, ke manapun diikuti dari belakang, Nyai Bagelen mengiringi, di tempat manapun diikuti dari belakang, Basah Prawirodirjo, mendengar perintah Sang Sultan, kuda Prawirodirjo dipukul.

4. Wus wangsul sawadyaneki, sarëng prapteng prënahira, Pangran Behi gennya lalis, Jëng Pangran Mangkubumi, apan wontën kidulipun, amung ëlët sajurang, lan Pangran Suryenglageki, lan
malihe Pangeran Adikusuma.

Terjemahan : Sudah kembali beserta pasukannya, begitu sampai tempatnya, tempat
Pangeran Hangabehi Djoyo kusumo meninggal dunia/Gugur, Sang Pangeran Mangkubumi, kemudian berada di sebelah selatannya, hanya terhalang sebuah jurang, dan Pangeran Suryenglogo, dan lagi Pangeran Adikusumo.

5. Panëmbahan sru ngandika, Mangkubumi mring prajurit, nora patut sira padha, samiya tëdhak Mëntawis, bok aja wani-wani, gawe tontonan wong agung, sikara mring satriya, sirahe padha
cinangking, ora urus pangeran mati canthuka.

Terjemahan : Berkata keras Panembahan, Mangkubumi kepada prajurit, tidak patut
kamu semua, sama-sama keturunan Mataram, sebaiknya jangan berani, membuat tontonan orang besar, mempermalukan kepada kesatria,
kepalanya semua ditenteng, tidak mengurusi pangeran mati diperlukan seperti hewan katak.

6. Prajurit ing Tjakrajayan, mirsa ujar salah kapti, tëngginas ngëdrel sënjata, mring Pangeran Mangkubumi, ambëdhil wanti-wanti, prajurit Kya Dipatiku, Dipati Cakrajaya, pambëdhile tan ngobëri,
sakancane Panëmbahan sami mlajar.

Terjemahan : Prajurit Tjokrojoyo, mendengar ucapan salah kehendak, dengan cekatan memberondongkan senjata, kepada Pangeran Mangkubumi, menembak berulang-ulang, prajurit Kyai Adipati, Adipati Tjokrojoyo,
penembakannya tidak memberi kesempatan, Panembahan beserta teman-temannya semua melarikan diri.

7. Sabubare Panëmbahan, mustaka tinigas aglis, binëkta dhatëng Bubutan, bandhangan dhuwung kehneki, wolu cacahe nënggih, dëlasan kandëlanipun, pëdhang kalih sërasah, satunggil pinancang rukmi, këpalanya mawi intën sotya mubyar.

Terjemahan : Sebubarnya Sang Panembahan, kepala (Kepala Ketiga Pangeran) segera dipenggal, dibawa ke Bubutan, rampasan keris jumlahnya, yaitu delapan buah, beserta sarungnya, dua buah pedang berlapis, yang sebuah berlapis emas,
kepalanya dengan mata intan yang bercahaya.

8. Satunggil lepen sëlaka, dhuwung tiga ingkang mawi, pinatik ing nawa rëtna, waos mawi intën bumi, kalih kathahireki, kang lugas gangsal kehipun, prapta beteng Bubutan, wus panggih para
Kumpëni, sirah tiga rinëpotkën Tuwan Kërap.

Terjemahan : Yang satunya bercincin selaka, keris tiga buah yang dengan, ditanami sembilan intan, tombak dengan intan bumi, jumlahnya dua buah, yang lugas berjumlah lima buah, sampai benteng Bubutan, sudah bertemu dengan para Kumpeni, tiga buah kepala dilaporkan kepada Tuan Kerap.

9. Sadaya barang bandhangan, kinintunakën pra sami, mring Tuwan Ota sadaya, kang sirah satriya katri, kinon manjër tumuli, neng Bubutan wus misuwur, sareng ing dintën Akat, ping tëlulas
tanggalneki, Kya Dipati Tjakrajaya tinimbalan.

Terjemahan : Semua barang rampasan, dikirimkan mereka semua, kepada Tuan Ota semua, ketiga kepal kesatria itu, kemudian disuruh menancapkan, di Bubutan sudah termasyhur, begitu pada hari Ahad, tanggal tig belas, kyai Adipati Cokrojoyo dipanggil.

10. Mring Tuwan Kërap Walanda, neng Pëjaja tëngga biting, tinaken angsale sirah, titiga priyayi pundi, Dipati matur aris, cature duk uripipun, angaku nama Basah, namane botën udani, kula botën
pati surup namanira.

Terjemahan : Oleh Tuan Kerap Belanda, di Pejojo menunggu benteng, ditanyai
perolehan kepala itu, ketiga orang priyayi mana, Adipati(Tjokrojoyo) menjawab pelan, katanya ketika masih hidupnya, mengaku bernama Basah,
namanya tidak tahu, saya tidak begitu tahu namanya.

11. Kula wingi atëtanya, mring Tjakradirja Bupati, ature tiyang Mëtaram, tan purun namanireki, botën dangu antawis, Tumënggung Cakrarëjeku, Den Ayune katëkan, pra nyaine Pangran Behi, yen
kang pëjah wontën Sëngir wingi ika.

Terjemahan : Saya kemarin bertanya, kepada Bupati Tjokrodirjo, jawabannya orang-orang Mataram, tidak tahu namanya, tidak lama kemudian,
Tumenggung Tjokrorejo, kedatangan Raden Ayu, para nyai Pangeran Hangabehi(Djojo kusumo) , bahwa yang mati di Sengir kemarin itu.

12. Pangran Behi saputranya, Pangran Jayakusumeki, lan Pangran Padmakusuma, sarëng miyarsa warti, Kyai Cakrajayeki, jroning
manah ngrës kalangkung, ngandika jro wrëdaya, dene wingi liwat kumbi, yen ngakuwa trah Mëtaram sun tan suka.

Terjemahan : Pangeran Hangabehi beserta putera-puteranya, Pangeran Joyokusumo,
dan Pangeran Padmokusumo, begitu mendengar keterangan itu, Kyai Tjokrojoyo, di dalam hati sangat resah, berkata di dalam hati, mengapa
kemarin terlalu tidak mengaku, kalau mengaku keturunan Mataram saya tidak senang.

13. Kya Dipati Tjakrajaya, kalangkung wëlas ningali, enggal matur Kurnelira, sarta Pangran Blitar nënggih, matur marang Kumpëni, panjëran sirah kasuwun, mëstaka tiga pisan, pan arsa dipun
pënëdi, pan pinëtëk dhusun Bëdhug karsanira.

Terjemahan : Kyai Adipati Tjokrojoyo, sangat kasihan melihatnya, segera menyampaikan kepada Sang Kolonel, serta Pangeran Balitar juga,
menyampaikan kepada Kumpeni, pemancangan kepala diminta, ketiga buah kepala sekalian, kemudian hendak diambil, dan kehendaknya kepala tersebut di makamkan di desa beduk.

14. Kurnel sangët kagetira, apa kowe liwat ajrih, yen nyata tëdhak Mëtaram, iya ingkang sami mati, matur Ki Adipati, botën wëdi milanipun, ngong suwun kuwandanya, pan sami tëdhak Mëtawis,
yëkti tunggil sëntanane gusti kula.

Terjemahan : Sang Kolonel sangat terkejut, apa kamu sangat takut, kalau benar-
benar keturunan Mataram, iya mereka yang mati, Kyai Adipati(Tjokrojoyo) berkata "tidak takut makanya saya minta bangkainya, karena mereka keturunan Mataram, pasti satu kerabat denga tuan saya (Junjungan atau tuan Kyai Adipati Tjokrojoyo adalah Pangeran Kusumoyudo dan Sri Susuhunan PB VI yang masih saudara dengan Raja2 dan Pangeran Kasultanan jogja)."

15. Ingkang ngawulakën amba, awit canggah maring kaki, Kurnel luntur manahira, sarta Pangran Blitar ngudi, Tuwan Kurnel marëngi, kang sirah pinëndhët sampun, lajëng kapëtak enggal,
Kurnel angaturi uning, panggëdhene iya dhatëng Tuwan Jendral.

Terjemahan : Yang mengabdikan hamba, mulai kakek canggah sampai kakek, Sang Kolonel luntur hatinya, serta Pangran Balitar meminta dengan sangat, Tuan Kolonel memperbolehkan, kepala mereka sudah diambil, terus
segera dimakamkan, Sang Kolonel memberitahu, pembesarnya iya kepada Tuan Jenderal.

16. Sarëng angsal tigang dina, mustaka kinen mëndhëti, kang sirah katiga pisan, ken madhahi aneng pëthi, sampun angsal sutengsi,
den pundhut mring Jendral Agung, binëkta mring Magëlang, den kintunkën mring Mëtawis, sinarekën tunggil rama tunggil eyang.

Terjemahan : Begitu memperoleh tiga hari, kepala-kepala itu disuruh mengambili,
ketiga buah kepala itu sekalian, disuruh menempatkan di dalam peti, sudah memperoleh sebulan, diambil oleh Jenderal besar, dibawa ke
Magelang, dikirimkan ke karaton yogyakarta, dimakamkan di tempat yang sama dengan ayah dan kakeknya.

17. Kang nyaosakën mëstaka, Behi Wangsasëmiteki, mantuke ginanjar
pëdhang, sëkawan kalawan bëdhil, dhapur pënganten prëkis, mawi kothak srabanipun, Ngëbehi Sasëmita, pinaring këstul sarakit,
sarëng prapteng ngarsanira Kya Dipatya.

Terjemahan : Yang menyampaikan kepala-kepala itu, Hangabehi Wongsosemito, pulangnya dihadiahi pedang, empat buah dan senapan, dapur pengantin
prekis (kecil bagus), dengan kotak suaranya, Hangabehi Wongsosemito, diberi pistol sepasang, begitu sampai di hadaapan Kyai Adipati(Tjokrojoyo) .

Sumber : R.A.A. Tjokronegoro I alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias Ngabehi Reksodiwiryo, Babad Kedungkebo, PUPUH XLV SINOM Syair bait nomor 1-17

Gambar : Ilustrasi tiga kepala manusia yang dipancangkan di tongkat kayu/tombak

By. Ndandung kumala adi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kutoarjo

Desa Tursino Kutoarjo di dalam kanccah perang jawa juga tercatat di Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Pertama Purworejo

  Di Dalam Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R....

Kutoarjo