Banyak orang yang tidak tahu kalau Kabupaten Purworejo yang dulu masuk karesidenan Bagelen dan Ibukota Karesidenan Bagelen sekaligus kantor Residen Bagelen ada di purworejo.
Kabupaten Purworejo sebagai pusat pemerintahan karesidenan bagelen dimana kantor eks Residen Karesidenan bagelen sekarang digunakan sebagai Kantor Bupati Purworejo, Kabupaten Purworejo adalah wilayah Karesidenan Bagelen sebelah Timur yang punya gaya Style gagrag Ringgit Purwo sendiri yang terkenal dengan gaya Gagrak Kaligesingan yang Diciptakan dan dirintis oleh generasi pertama dalang Ki Warsoguno desa kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
wayang kulit dalam bahasa jawa disebut ringgit.
Ringgit purwo atau wayang kulit purwa. Kata purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis wayang kulit mulai dari wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya. Kemungkinan mengenai berita adanya wayang kulit purwa dapat dilihat dari adanya prasasti di abad ke 11 pada zaman pemerintahan Erlangga yang menyebutkan:
"Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap"
yang artinya:
"Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara"
Seni tatah dan sungging wayang gaya Desa kaligono, Kaligesing (Kaligesingan, Kabupaten Purworejo) Bagelen ciptaan Mbah Warsoguno lalu dilanjutkan saudara nya yang ada di Kabupaten Kutoarjo yaitu dalang Mbah Gethuk alias Ki Darmo Sentiko Alias Ki Kartoguno yang masyarakat menyebutnya Mbah Gethuk yang tinggal di desa pacor kutoarjo, saat era itu sebelumTahun 1934 Kutoarjo adalah Kabupaten tersendiri.
Kalau tidak ada kerbau bule bisa dengan kulit kebo gudik/gudiken karena kulitnya kering.
Berikut sejarah dan silsilah Mbah Gethuk alias dalang Ki Darmi sentiko yang nama kecilnya bernama Ki Kartoguno diawali dari kakek(Simbah) Buyutnya yang bernama Hardi Wijoyo alias Ki Redi Wijoyo alias Ki Redi bethitit Dalang dari Mataram, jadi Mbah Gethok adalah cicit alias buyut dari Mbah Redi Bethithit :
Mbah Redi Bethitit adalah seorang Dalang yang asal-usulnya dari Mataram yang bernama Ki Dalang Hardi Wijoyo atau Redi Wijoyo tinggal di desa Wonoroto Ngombol, Dalang ini cukup terkenal di daerah Bagelen terutama di Purworejo dan Semawung (Kutoarjo) yang saat itu menjadi Kabupaten sendiri-sendiri.
Ki Dalang Redi Wijoyo alias Ki Hardi Wijoyo, mendengar sayembara dari Bupati Semawung (Kutoarjo) yaitu Bupati Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I, dan beliau berminat untuk mengikutinya dengan tujuan untuk menolong penduduk yang ketakutan karena ular raksasa yang ganas dan besar.
Kemudian Ki Dalang Hardi Wijoyo menghadap Kanjeng Adipati Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I untuk mengikuti sayembara dan mohon ditunjukkan tempat ular besar ganas itu berada, sang Adipati menyetujuinya dan diperintahkan seorang punggawa untuk mengantar ke tempat ular tersebut.
Setelah itu Ki Dalang mempersiapkan dirinya, dia memutuskan berjuang seorang diri, dengan memohon kepada Allah SWT secara batiniah dan secara lahiriah beliau ikhtiar mencari akal, bagaimana caranya melumpuhkan ular itu tanpa membahayakan dirinya sendiri.
Teringatalah beliau saat berada di Mataram, di alun-alun Mataram sering diadakan acara Ramdogan macan yaitu pertunjukkan mengalahkan Harimau oleh para Ksatria Mataram.
Maka Ki Dalang membuat grogol berbentuk sangkar seorang diri, kemudian setelah jadi di bawa ke tempat dimana ular ganas itu merajalela, dibawanya pula seekor kambing dan sebuah golok panjang untuk senjata melawan ular itu, kambing sebagai umpan ular ganas di ikatnya kambing itu di luar dekat grogol agar memudahkan Ki Dalang mengayunkan goloknya ke tubuh ular besar. Dengan bersenjatakan golok Ki Dalang masuk kedalam grogol dan menunggu ular tersebut datang.
setelah beberapa waktu lamanya akhirnya ular tersebut datang, mengerikan dengan tubuh raksasa besar sekali dan panjang ular tersebut mendekati mangsannya yaitu kambing umpanan milik Ki Dalang, embikkan si kambing yang ketakutan menambah nafsu ular itu untuk segera menyerang, membelit dan melahanpnya, tapi tanpa di sadari sebilah Golok milik Ki Dalang telah siap membacok ular itu.
Dengan mulut lebar ular itu mencaplok kambing, dan disaat itu golok Ki Dalang di bacokkan ke kepala ular, ular kemudian marah dan kesakitan lalu grogol dibelitnya dengan kuat, namun Ki Dalang tetap aman. Dari dalam Grogol Ki Dalang terus menghujani ular itu dengan bacokan goloknya bertubi-tubi, darah bersimbah si ular pun bermandikan darahnya sendiri hingga lemas dan mati.
Orang-orang yang sembunyi melihat pertarungan Ki Dalang melawan ular raksasa besar itu akhirnya keluar dari persembunyian dan bersorak gembira, mereka berlari menghampiri grogol dan mengeluarkan Ki Dalang dari dalam grogol.
Ki Dalang Hardi Wijoyo dijunjung dan diarak menuju Kadipaten untuk dihadapkan kepada Adipati Semawung yaitu Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I, sebagian lagi orang menggotong bangkai ular raksasa.
sepanjang jalan menuju Kadipaten, masyarakat menyambut dengan sorak sorai dan riuh gembira.
Adipati Semawung, Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I melaksanakan janjinya, beliau bersama sentana Kadipaten membawanya ke suatu daerah di utara Gunung Tugel, disana Ki Dalang diperintahkan untuk “ngembor” sekuat dan sekeras mungkin kemudian beberapa orang berdiri berurutan sampai kira-kira mereka dapat mendengar teriakan Ki Dalang yang paling jauh.
Orang yang paling jauh mendengar teriakan ( gemboran ) Ki Dalang untuk memasang patok tanda, maka tanah dari berdirinya Ki Dalang untuk berteriak atau gembor sampai patokan terakhir adalah milik Ki Dalang Hardi Wijoyo. D
Sedangkan Ki Dalang bertempat tinggal di Desa Tepus Wetan, setelah wafat di makamkan Di Desa Tepus Wetan, Desa Tepus wetan sekarang masuk Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
Beliau yang menurunkan dalang-dalang di daerah Kutoarjo dan sekitarnya, sampai sekarang makamnya banyak diziarahi para Dalang dari mana saja.
Ki Redi Wijoyo/Ki Redi Bethitit/Ki Hardi Wijoyo
I
Ki Toguno/Ki Guno Perwito
I
Ki Tirtosono
I
Ki Kartoguno/Ki Gethuk/Ki Darmo Sentiko kelahiran tahun 1876, wafat tahun 1976
I
Ki Darto Crito Karmoyo
I
Ki Sutarko Hadiwacono
I
Ki Putut Danardono / Ki Parikesit
Lahir Tahun 1921, wafat 20 Februari 1998 dalam usia 77 tahun
Mbah Gethuk punya putra pertama saat usia 45 Tahun.
Mbah gethuk kelahiran tepus tahun 1876 dan wafat 1976 dalam usia 100 tahun, Sumare di dewi bayan karena akhir hayatnya ikut salah satu putranya dari istri ketiganya yang bernama ki partono.
Mbah Gethok berputra :
1. Sidarto
2. Sunarko
3. Sudarti
4. Partono
5. Dewoto
6. Dewati
Alm. Ki Sidharto Citro Karmoyo dengan istri pertama berputra :
1. Alm. Ki Sidargo
2. Ki Sutako Hadiwacono
Setelah istri pertama wafat, Ki Sidharto Citro Karmoyo dalam usia sekitar 68 tahunan menikah kembali dan berputra :
1. Wasi Handono isworo kelahiran Tahun 1986
2. Handani Widodoningrum
3. Kirono kasih
4. Niken anggraeni
Apa yang menjadi ciri khas gagrak bagelenan?
BalasHapus