Powered By Blogger

Minggu, 28 Juni 2020

Gua Pencu Desa Ngandagan kecamatan pituruh kabupaten Purworejo adalah situs cagar budaya saksi bisu peninggalan bung Karno


Gua pencu adalah Situs Sejarah Peninggalan Ir Soekarno yang terletak di Desa Ngandagan, Pituruh, purworejo jawa Tengah.
Tidak banyak orang yang tau soal pesona Desa Ngandagan, pituruh, purworejo, jawa Tengah. Dikelilingi sawah dan bukit, desa tersebut diketahui dulunya sebagai di era bung Karno sebagai daerah percontohan pertanian di Pulau Jawa.

Berdasarkan Narasumber tokoh masyarakat desa ngandagan, nama Desa Ngandagan mulai dikenal saat kepimpinan seorang Glondhong merangkap lurah yang bernama Sumotirto.
Sumotirto dengan nama kecil Mardikun menjabat Lurah sekitar 18 tahun dari tahun 1946-1963. Beliau sebenarnya berasal dari Desa Wonosari. Tapi karena kecerdasan, ketegasan dan kemampuannya, tokoh masyarakat dari Desa Ngandagan yakni Kartowi Kromo memanggil Sumotirto untuk menjadi kepala desa ngandagan yang merangkap Glondong.

Dibawah tangan dingin Sumotirto ternyata mampu mengubah desa Ngandagan menjadi desa yang asri dan sejuk. Sejak saat itulah, Ngandagan menjadi desa percontohan. Bahkan, hampir setiap hari mobil pejabat melintas di Ngandagan hanya untuk melihat-lihat atau sekedar rekreasi.

Tahun 1947, Ngandagan dikunjungi oleh Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno. Kehadiran Sang Proklamator itu kabarnya untuk melihat sistem pertanian, gotong royong masyarakat hingga rasa saling menghormati antar ummat beragama di desa Ngandagan jugauntuk meninjau keberhasilan proyek pertanian jeruk dan perikanan di Desa Ngandagan. Warga desa yang mendengar akan ada kehadiran Bung Karno langsung menyiapkan penyambutan.
Sepanjang jalan dari arah Kutoarjo, Kemiri sampai Pituruh didirikan posko-posko penyambutan. Beragam kesenian tradisional memamerkan kepiawaiannya. Bermacam-macam hasil pertanian unggulan dipamerkan, ketika rombongan Bung Karno, tiba di Desa Ngandagan, ribuan rakyat pengagum beliau berdesak-desakan untuk turut menyambut ataupun hanya sekedar ingin melihat langsung sosok Presiden yang mereka puja itu. Dalam pidatonya Bung Karno memuji kemandirian Warga Desa Ngandagan bersama Sumotirto dalam membangun desanya.

Dalam pidato/dialognya dengan warga desa, kurang lebih bung Karno berkata “Aku kudu nganggo basa krama apa ngoko ?serentak dijawabngoko!!. Desa Ngadagan pancen hebat, ora perlu bantuan saka pemerintah nanging bisa dadi desa kang maju….


Berlangsunglah dialog rakyat dengan Presiden di depan rumah Sumotirto. Lalu, pada tahun 1960 seorang mahasiswa pernah melakukan penelitian (1961-1981) hasilnya : Land Reform in a Javanes stronge Village Ngandagan : a case study on the role of Lurah in decision making prosess dan pada tahun 2009 kembali muncul dengan Judul Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Jawa Tengah sampai Porto Alegre Brazil)tulisan dosen IPB (Dr. HC) Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c.

Pada masa kepemimpinan Glondhong Sumotirto tidak ada warga desa yang malas , tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Bahkan tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan Desa Ngandagan”. Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.

Jadilah Desa Ngandagan menjadi Desa percontohan, sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon Pepaya Unggul berbuah sangat lebat dan besar-besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat, dibawahnya terdapat kolam ikan dengan airnya yang sangat jernih. Dan di ujung bukit yang kelihatan “mecucu” karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana pemikiran seorang lurah yang sangat maju di jaman itu, jika dikaitkan dengan konsep Desa Wisata yang tengah digembar-gemborkan, diwacanakan, namun belum bisa diwujudkan hingga sekarang. Ternyata berpuluh-puluh tahun yang silam telah dicontohkan dengan sempurna oleh seorang lurah merangkap Glondhong bernama Sumotirto tanpa meminta bantuan dari pemerintah alias berdikari.


Ketenaran Desa Ngandagan sebagai desa percontohan memberikan daya tarik tersendiri bagi Presiden Soekarno kala itu. Ir. Soekarno mengunjungi Desa Ngandagan pada tahun 1947. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk meninjau keberhasilan proyek pertanian jeruk dan perikanan di Desa Ngandagan. Sebagaiman layaknya ketika suatu daerah akan mendapat kunjungan dari Sang Presiden. Sepanjang jalan dari arah Kemiri sampai Pituruh didirikan posko-posko penyambutan. Beragam kesenian tradisional memamerkan kepiawaiannya. Bermacam-macam hasil pertanian unggulan dipamerkan dan warga yang berminat dipersilahkan menikmati secara cuma-cuma.




Pada saat bung Karno berkunjung ke desa Ngandagan beliau dan rombongan sempat meninjau dan beristirahat di Gua Pencu. Presiden Soekarno juga menguji kepandaian warga desa. “Ayo sapa sing bisa nulis jenengku …maju ! Maka majulah salah seorang sukarelawan menulis Sukarno dengan aksara jawa. Namun ada kesalahan dalam menulis nama Soekarno, karena didepan huruf “Sa” yang disuku kelebihan huruf “Ha”, sehingga bunyinya “* Sukarno” dan semua yang hadir tertawa. Yang menarik Presiden Soekarno tidak marah bahkan memaklumi dan ikut tertawa. Kemudian Presiden Soekarno dengan sabar membimbingnya sambil menulis “ Sa disuku unine apa..? secara serentak masyarakat yang hadir menjawab Su…, banjur Ka dilayar Kar…, terus Na ditaling lan diwenehi tarung diwaca No… dadi wacane Su-kar-no”. Rakyat pun senang karena dibimbing Presiden Soekarno. Bapak saya sendiri juga menyaksikan beliau ketika memasuki Gua Gunung Pencu melalui pintu sebelah timur, karena pintunya cukup rendah untuk ukuran Presiden Soekarno, maka beliau harus menunduk dan melepas kopiahnya."

Tempat Presiden Ir.Soekarno pada waktu itu untuk menikmati kesejukan pada pintu sebelah timur Gunung Pencu kini ditumbuhi semak-semak . Lorong bagian dalam batu cadasnya diselimuti lumut dan akar-akar pohon menyembul disela-selanya.

"Dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai Porto Alegre, Brazil" Demikian anak judul orasi ilmiah Gunawan wiradi saat menerima Gelar Dr. Honoris Causa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 28 Mei 2009, judul utama orasi ilmiah itu sendiri adalah "Reforma Agraria dari Desa ke Agenda Bangsa"
Bagi banyak orang terutama di kecamatan pituruh sendiri mungking menggap desa Ngandagan adalah nama desa yang biasa saja, karena ketidaktahuan mereka.
Lurah Soemotirto adalah lurah ke-7 dalam sejarah kepemimpinan di desa Ngandagan, beliau sebenarnya berasal dari keluarga petinggi desa wonosari yang berbatasan dengan Dusun Karang turi desa Ngandagan. Kakaknya yang bernama Tirtowardoyo pernah menjadi lurah desa wonosari. mardikoen Soemotirto melakukan upaya pembaruan di tahun 1947. Warga Ngandagan mengikuti ideologis politik yang dianut lurah Soemotirto yakni Komunis(Sumber : wiradi 2009b: 163), sehingga pada pemilu tahun 1955 PKI menang telak di desa Ngandagan.
Salah satu ketegasan beliau adalah berani membongkar petilasan di gua pencu, gua ini di keramatkan penduduk desa dan banyak didatangi peziarah di luar desa, serta ada makam mbh jait(Purwanto 1985:31) yang dikultuskan penduduk. gua ini dirubah menjadi satu monumental yang mengejawantahkan cita-cita nasional, di muka gua ditempatkan dua buah prasasti yang bertuliskan slogan perjuangan dan lambang kenegaraan dan juga patung pahlawan nasional seperti Kartini dan Pangeran Diponegoro, selain itu komplek sekitar gua dijadikan sebagai pusat kegiatan kesenian, perkemahan, kepemudaan, dan wisata terkenal di kabupaten purworejo.
Salah satu peristiwa sejarah bagi desa Ngandagan adalah kunjungan Presiden RI pertama Ir. Soekarno di pertengahan tahun 1947 yang ingin melihat secara langsung kemajuan desa Ngandagan juga secara khusus meninjau pemberantasan buta huruf.


Soemotirto pada tahun 1964 pindah ke partai Katolik dan berpindah Agama serta dibaptis pada tanggal 24 April 1964 bersama para pengikutnya di desa Ngandagan, gereja di dusun karangturi berdiri 2 November 1969 bernama gereja Setasi St Markus, Ngandagan merupakan bagian dari kerasulan gereja Santo Yohanes rosul Kutoarjo yang berdiri tahun 1935, demikian konversi agama di Ngandagan yang sangat terkait dengan situasi politik di pedesaan dan uniknya terjadi pada tahun 1964 sebelum terjadinya G30SPKI sehingga di desa Ngandagan tidak terusik oleh kejadian nasional tersebut tidak ada penangkapan dan pembunuhan massal di Ngandagan. Sebelum peristiwa G30S 1965 Soemotirto sudah meninggal dunia lima bulan sebelumnya, dan pada bulan April 1964 sesuai perintah Soemotirto semua warga desa Ngandagan yang menjadi anggota PKI untuk hijrah ke PNI atau partai Katolik.
Sekarang di kecamatan pituruh Agama Katolik identik dengan desa Ngandagan terutama dusun karangturi.
Tetapi sejak peristiwa G30S gua pencu Ngandagan dituduh menjadi markas PKI sehingga mengakibatkan gua pencu terjadi perusakan dan penelantaran bertahun-tahun lamanya, sejak saat itu desa Ngandagan yang makmur dan prestasi penting yang dicapai kemudian dibalikkan.

Gua pencu saksi bisu yang merupakan Monumen yang mengejawantahkan secara konkret visi kebangsaan dan kerakyatan desa Ngandagan yang pernah menjadi kebanggaan dan menjadi magnet daya tarik se kabupaten purworejo bahkan keluar kabupaten.
Saat kepemimpinan Soemotirto, gua pencu menjadi salah satu tujuan wisata kabupaten purworejo dan di dukung dinas pariwisata kabupaten purworejo, namun sejak mendapatkan stigma politik negatif dari penguasa orde baru, gua pencu mulai dihindari dan bahkan bangunannya dirusak serta tak terawat.

Semoga Situs Gua Pencu dapat di pugar dan direnovasi kembali oleh masyarakat dan Pemkab Purworejo sebagai salah satu tujuan obyek wisata dan sejarah





By. Nka
Sumber Referensi :
- mohammad shoibuddin dan ahmad nashih luthfi 'Land Reform Lokal Ala Ngandagan'
- Gunawan wiradi "Reforma Agraria dari Desa ke Agenda Bangsa"
- Nara sumber tokoh masyarakat desa Ngandagan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kutoarjo

Desa Tursino Kutoarjo di dalam kanccah perang jawa juga tercatat di Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Pertama Purworejo

  Di Dalam Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R....

Kutoarjo