Powered By Blogger

Jumat, 05 Juni 2020

R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo salah satu Tokoh Pergerakan Nasional Cucu Bupati Kutoarjo yang Ke-2 yang berasal dari Kutoarjo, Kabupaten Purworejo

CUCU BUPATI KOETOARDJO KE-2 R.M.T. SOEROKUSUMO Bin Bandoro Pangeran Hario Balitar I Bin Hamengkubuwono I


Raden Mas Adipati Ario disingkat R.M.A.A Koesoemo Oetoyo bin R.M. Soejoedi Soetodikoesoemo (yang dulu pernah menjadi assisten wedono  Bedog setelah itu menjadi Patih Pekalongan) Bin R.M.T. Soerokusumo (Bupati Koetoardjo).
Koesumo Oetoyo adalah cucu dari bupati kutoarjo ke-2 R.M.T. Soerokusumo.
R.M.A.A Koesoemo Oetoyo pernah menjabat Bupati Ngawi ( dari tahun. 1902 - 1905) dan Bupati Jepara (dari tahun 1905 - 1927) menggantikan Ayahnya R.A. Kartini yang bernama R.M.A.A. Sosroningrat yang wafat di tahun 1905 lalu Koesoemo Oetoyo ditunjuk untuk menggantikannya, Koesoemo Oetoyo waktu itu berusia 34 Tahun dan dianggap sepadan untuk menggantikan nama besar Sosroningrat ayahanda R.A. Kartini. Koesoemo Oetoyo meraih jabatan bergengsi sebagai Bupati Jepara.
Koesoemo Oetoyo menjadi Bupati Ngawi pada usia 31 tahun, sebagai Bupati muda di kabupaten Ngawi, Koesoemo Oetoyo juga dipercaya masuk sebagai salah satu anggota komisi penyelidik penurunan kemakmuran rakyat (Mindere Welvaart Commissie) di Jawa dan Madura, yang dibentuk tahun 1903 atas inisiatif A.W.F. Idenburg selaku menteri urusan jajahan Belanda.

Dalam sebuah essainya, budayawan Pramoedya Ananta Toer, sebagaimana dikutip Nagazumi (1989:22), menyebutkan bahwa dari sejumlah Bupati di Jawa hanya ada empat orang saja yang pandai menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda, mereka adalah Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak), R.M.A.A. Sosroningrat bupati Jepara, R A. Achmad Djajadiningrat Bupati Serang, dan R.M.T. Koesoemo Oetoyo Bupati Ngawi.

Koesoema Oetoyo berupa meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsanya. Dalam tulisannya di media cetak Hindia Belanda dan pidato-pidatonya di rapat-rapat "Boedi Oetomo", pidato-pidatonya di sidang Bupati se-Jawa maupun Dewan Rakyat (Volksraad) istilah "Anak Bumi" digunakan Koesoema Oetoyo untuk mengembalikan kepercayaan diri kaum pribumi, semua disiplin ilmu juga ilmu-ilmu barat harus dikuasi oleh anak bumi.
Menurutnya pendidikan dan identitas diri anak bumi merupakan suatu hal yang mutlak untuk menjadikan sosok bermartabat dan berkedudukan sejajar saat bernegosiasi dengan pihak kolonial Belanda.
Dalam konteks kekinian atau milenial, upaya memberikan beasiswa yang terus menjadi obsesi dan cita-cita Koesoemo Oetoyo, yang diharapkan dapat membuka mata hati para pemimpin di negeri ini untuk mengalokasikan dana beasiswa yang besar agar generasi muda terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan konservatisme.
Bagi pribadi Koesoemo Oetoyo identitas yang konsisten alias Daim juga berkarakter adalah simbol kekuatan tersendiri bagi Koesoema Oetoyo.
Misalnya pakaian sederhana dan berkarakter yang dipakai Mahatma Gandhi merupakan protes terhadap kemapanan, demikian juga dengan Koesoemo Oetoyo yang konsisten memakai kain batik, blangkon, dan anti memakai sepatu, kelihatan dengan cara ini kolonial Belanda di ingatkan untuk selalu memikirkan keberadaan Anak Bumi yang secara bertahap harus mendapatkan kemerdekaannya dan hidup sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo juga pernah aktif dan menjabat pada sejumlah organisasi dan lembaga antara lain sebagai Ketua Organisasi Pergerakan Politik Boedi Oetomo (dari tahun. 1926 s.d. 1936), anggota Dewan Pimpinan Harian Volksraad (parlemen Hindia Belanda) yang pertama yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918, serta Wakil Ketua Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) yaitu badan yang dibentuk pada tahun 1943, diketuai Ir. Soekarno, dan bertugas mengajukan usul kepada pemerintah, menjawab pertanyaan mengenai politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang.

R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo lahir di kebumen pada tanggal 13 Januari 1871 dengan nama Raden Mas Oetoyo. Ayahanda R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, yaitu R.M. Soejoedi Soetodikoesoemo, ialah seorang pamong praja yang kemudian menjadi Patih di Pekalongan, yang merupakan putra Bupati Kutoarjo ke-6  K.R.A.A. Soerokoesoemo. R.M. Soerokoesoemo merupakan cucu Sultan Hamengku Buwono I.
Ibunda R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, yaitu R.A. Soeratinem, ialah putri dari Raden Adipati Aroeng Binang IV, Bupati Kebumen.
Sekalipun kedua kakeknya berbeda politik, R.M. Soerokusumo mendukung politik pangeran Diponegoro serta ikut bergabung berperang melawan ketidakadilan dan kolonial Belanda untuk membela Kawulo alit dan kaum lemah serta mengangkat harkat dan martabat bangsanya.
Sedangkan Aroembinang IV menolak politik Pangeran Diponegoro yang bersamaa dengan Belanda ikut memerangi pengikut pangeran Diponegoro sampai menyebabkan Kolopaking IV yang membela Pangeran Diponegoro Gugur sabil.
Tapi Koesoemo Oetoyo berbangga kepada kakeknya R.M.T. Soerokusumo Bupati Kutoarjo yang Ke-4 juga kakek buyutnya pangeran Balitar yang ikut di barisan terdepan pangeran Diponegoro, ikut berperang bersama pangeran Diponegoro melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, penjajahan, membela Kawulo alit dan kaum lemah serta mengangkat harkat dan martabat bangsanya.
Epos Pangeran Diponegoro terpatri di dalam jiwanya bahwa Priyayi atau bangsawan atau orang kaya atau orang kuat harus wajib mengayomi dan melindungi Kawulo alit dan kaum lemah sekalipun Nyawa adalah taruhannya.

Koesoemo Oetoyo sebagai salah satu tokoh Pergerakan Nasional dan salah satu tokoh Boedi Oetomo yang melalui kedudukannya sebagai wakil ketua Volksraad secara resmi berani mengajukan berbagai gagasannya membela kaum pribumi, bahkan juga mendukung petisi Soetardjo.
Menurut Koesoemo Oetoyo berjuang melalui diplomasi seringkali membawa hasil yang lebih bermakna, padahal sejak kecil ia selalu diceritakan tentang kakek dan kakek buyutnya Yaitu KRAA Soerokusumo dan Pangeran Balitar yang ikut mengangkat senjata membantu pangeran Diponegoro melawan Belanda.
R.A.Kartini Secara khusus menulis tentang Koesoemo Oetoyo dalam korespondensinya yang dibukukan di buku dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang"

Koesoemo Oetoyo sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Purworejo pada tahun 1978, ELS adalah sekolah khusus untuk orang Belanda dan hanya orang tertentu yang bisa masuk sekolah elit itu, dan tidak semua kota kabupaten memiliki sekolah ELS, karena sekolah ini di dirikan untuk melayani komonitas Belanda dan jarang anak pribumi yang bisa masuk sekolah elit itu, masa kecil Koesoema Oetoyo  ada di kutoarjo juga di daerah Bedog Bagelen karena ayahnya menjadi assisten wedono Bedog daerah purworejo.
Koesoemo Oetoyo lulus dari ELS Purworejo(Sekarang gedung berubah total menjadi SMP N 2 Purworejo) pada tahun 1885, tepat sesuai jadwal waktu 7 tahun (1878 - 1885)
Setelah sekolah di ELS Purworejo beliau melanjutkan studinya di HBS Semarang di tahun 1885 bersamaan dengan ayahnya R.M Soetodikoesoemo mendapatkan jabatan baru sebagai Patih Pekalongan, akhirnya mereka pindah ke Pekalongan.

Salah satu putra Koesoemo Oetoyo, yaitu R.A.A. Soemitro Koesoemo Oetoyo, juga pernah menjabat sebagai Bupati Jepara (dari tahun. 1942 s.d. 1950) pada masa pendudukan Jepang sampai dengan awal masa kemerdekaan Indonesia.

Foto. Makam kakeknya R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo yang bernama R.M.T. Soerokoesomo (Bupati Kutoarjo ke-2) bin B.P.H. Balitar I bin Hamengkubuwono I, Makam beliau ada di desa Loano, Purworejo

R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo dalam kiprahnya sebagai anggota Volksraad antara lain dikenal dengan “Mosi Koesoemo Oetoyo” yang dibacakan di hadapan persidangan College van Gedelegeerden Volksraad. Dalam mosi yang berjudul “Tidak Aman Hati di Antara Penduduk Negeri” itu, Koesoemo Oetoyo meminta penjelasan tentang tindakan Pemerintah Hindia Belanda menangkap sejumlah pimpinan pergerakan bangsa Indonesia. Banyak kalangan kemudian menyebut mosi ini sebagai “Mosi Keresahan” karena dalam pidatonya Koesoemo Oetoyo beberapa kali menggunakan ungkapan ‘perasaan hati yang tidak aman’. Keresahan Koesoemo Oetoyo itu kemudian diteruskan oleh MH Thamrin melalui persidangan-persidangan di Volksraad, khususnya tentang proses pemahaman dan cara-cara penggeledahan yang tidak tertib. Hal ini mendapat perhatian dari seluruh golongan masyarakat agar HAM dan harkat kemerdekaan warga negara lebih dihormati.

R.M.A.A Koesoemo Oetoyo memang diketahui berteman baik dengan MH Thamrin. Pertemanan mereka tidak hanya sebatas ketika berada dalam Volksraad, namun mereka juga bersama-sama mengelola Fonds Nasional, sebuah badan yang menerbitkan buku-buku yang berisikan cerita-cerita perjalanan mengejar cita-cita suci, mengejar Indonesia merdeka. Hasil penjualan buku-buku tersebut digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan pergerakan nasional.

Bersama MH Thamrin pula Koesoemo Oetoyo mengadakan peninjauan ke Sumatera Timur dalam rangka melakukan penyelidikan terhadap nasib buruh perkebunan yang sangat menderita akibat adanya poenale sanctie. Poenale sanctie adalah peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya. Penyelidikan mereka tersebut pada akhirnya membawa hasil dengan dihapuskannya lembaga poenale sanctie.


Pada usia senjanya, di awal tahun 1950-an, Koesoemo Oetoyo masih aktif sebagai anggota Badan Sensor Film. Pada masa itu ia bekerja sama dengan Maria Ulfah Santoso, seorang aktivis pergerakan nasional dari generasi sesudahnya. Kepercayaan untuk menjadi anggota Badan Sensor Film tersebut antara lain berhubungan dengan kesukaan Koesoemo Oetoyo menonton film, di samping bahwa ia juga dikenal sebagai seorang budayawan dan memegang teguh etiket dan etika sosial.

R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo wafat pada tanggal 26 Mei 1953. Beberapa bulan sebelum wafat ia masih sempat memperingati ulang tahunnya yang ke-82 pada tanggal 13 Januari 1953 bersama para sahabat, di antaranya Ki Hajar Dewantara.

Koesoemo Oetoyo dimakamkan di Taman Makam Pekuncen, Yogyakarta. Biografinya tertuang dalam buku "Perjalanan Panjang Anak Bumi" yang diprakarsai oleh Ramadhan KH.






Saat ini nama R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo diabadikan sebagai nama sebuah jalan (Jln. Kusumo Utoyo) di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Pangeran Diponegoro menjadi epos di kalangan masyarakat Jawa ia adalah simbol jiwa kepahlawanan, keperkasaan, penjaga kebenaran, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsanya. Sebagai pemimpin Pangeran Diponegoro mempunyai kepribadian dan karakter yang kuat serta legimitasi yang tinggi karena mendapatkan amanah dari rakyatnya, barang siapa ada di seberang sang pangeran Diponegoro, ialah sang Angkara murka. Nilai-nilai tersebut berkembang dan dipertahankan masyarakat Jawa, termasuk Trah Bupati Kutoarjo yang Ke-2 R.M.T. Soerokusumo. Koesoemo Oetoyo tumbuh dalam epos Pangeran Diponegoro, ia bangga menjadi cucu Soerokusumo yang ikut mendampingi Pangeran Diponegoro berperang membela rakyatnya, Kesadaran itu membentuk karakter, mental, jiwa dan kepribadian Koesoemo Oetoyo.
Seperti umumnya Trah pengikut pangeran Diponegoro, Koesoemo Oetoyo merasa menerima wasiat dan tali estafet juga informasi DNA agar menjadikan keluarganya sebagai generasi penerus dan pewaris sejarah semangat perjuangan pangeran Diponegoro untuk membela Kawulo alit dan kaum lemah juga mengangkat harkat dan martabat bangsanya.




By. N.Kumolo Adi

Sumber Referensi :
- Sejarah Bupati Ngawi
- Mosi Koesoemo Oetoyo
- Poenale sanctie
- Buku biografi "Perjalanan Panjang Anak Bumi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kutoarjo

Desa Tursino Kutoarjo di dalam kanccah perang jawa juga tercatat di Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Pertama Purworejo

  Di Dalam Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R....

Kutoarjo