Powered By Blogger

Kamis, 09 Juli 2020

SEJARAH WILAYAH BAGELEN SEBAGAI NEGARA AGUNG MATARAM


SEJARAH BAGELEN
SEBAGAI NEGARAGUNG SITI NUMBAK ANYAR MATARAM & MANCANAGARI MATARAM MENJADI  RESIDENSI HINGGA WUJUDNYA KABUPATEN PURWOREJO

Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang lebih dikenal sebagai Tiga Kabupaten yaitu Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo. Purworejo merupakan nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Letaknya di barat Kali Bogowonto, berbatasan dengan Kulonprogo, merupakan wilayah negaragung Mataram Islam.

PADA MASA MATARAM ISLAM KOTAGEDE – KERTA (1600 - 1647)

Peranan para jawara atau disebut "Kenthol Bagelen" dalam peperangan  adalah sangat besar. Dimulai pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, keikutsertaan para Kenthol Bagelen di setiap operasi militer Mataram semakin sering. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, pasukan Bagelen turut berpartisipasi. Disebutkan, pasukan dari daerah pesisir berbaris di sebelah utara, orang Banyumas di sebelah barat, dan orang Bagelen di sebelah selatan.

Wilayah Bagelen pada masa pemerintahan Sultan Agung (Mataram Kerta) termasuk ke dalam wilayah Negaragung (Negara gedhe) atau wilayah penyangga sekitar Kutanagara (Ibukota di Kotagede & Kerta).

Negaraagung sendiri merupakan suatu wilayah di luar Negara yang berisi tanah mahosan dalem atau tanah yang diperuntukkan bagi pemasukan pajak ke kas keraton dan tanah jabatan para bangsawan keraton. serta pejabat kerajaan yang tinggal di dalam Negara.

Wilayah Negaragung terbagi menjadi delapan wilayah, dimana Bagelen disebut sebagai “Siti Numbak Anyar” (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

PADA MASA MATARAM ISLAM – PLERED (1647 - 1677)

Tahun 1655, pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat I, Sultan mengangkat empat orang wedana pesisir. Bersamaaan dengan itu, Sultan juga mengangkat empat wedana jaba atau wedana luar atas Negaraagung, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Kedu, dan Bagelen. Selain itu, dalam perang antara Mataram dan Banten, dalam rombongan ekspedisi militer ke Karawang, terdapat armada kapal yang tiga diantaranya diisi prajurit Bagelen. Masing- masing dipimpin oleh Kenthol Abadsara (Ampatsara), Kenthol Pusparaga, dan Wangsamarta.

Tanggal 28 Juni 1677, Keraton Plered jatuh ke tangan pemberontakan Trunojoyo dan memaksa Sultan Amangkurat I keluar dari keraton. Hari Senin, 29 Juni 1677, rombongan kerajaan sampai di Jagabaya yang termasuk wilayah Bagelen dan bertemu dengan pasukan pemberontak. Beruntung, datang bala bantuan dari Kyai Baidowi bersama rakyat Bagelen. Sultan berhasil selamat dan mengeluarkan sebuah pantangan bagi anak keturunannya, agar tidak menyeberangi Sungai Bogowonto membawa pasukan.

Atas bantuan dari Kyai Baidowi dan rakyat Bagelen, Sultan bersama permaisuri membangun sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Santren yang di dalamnya terdapat angka tahun 1679, dua tahun setelah peristiwa penyerangan..

Foto. Masjid Santren bagelen

Pembangunan Masjid Santren diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shuufi dan menandai perkembangan agama Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen. Disebut sebagai masjid tertua di wilayah Bagelen, sebuah sumber menyatakan masjid ini dibangun pada tahun 1618.

Demikian selanjutnya, meski kraton berpindah dari Plered ke Kartasura (lalu Surakarta), Bagelen tetap merupakan wilayah negaragung Mataram sebagai lumbung beras serta penyedia logistik bagi keperluan prajurit perang.

PADA MASA MATARAM KARTASURA (1680 - 1742)

Setelah Kraton berpindah ke Kartasura, Bagelen tetap menjadi negaragung Siti Numbak Anyar dan terus menyediakan tenaga tentara dan tenaga bahu suku bagi kraton Mataram. Setelah Geger Pacinan dan perang tahta Jawa ke 3 (1746-1757) wilayah Bagelen menjadi daerah gerilya baik Raden Mas Said maupun Pangeran Mangkubumi.

Salah satu perang historik terjadi di Sungai Bogowonto, Bagelen dimana Pangeran Mangkubumi dan pasukannya (termasuk dari wilayah Bagelen & Sukowati) berhasil mengalahkan pasukan VOC dibawah  Major H.De Clercq. Tombak yg digunakan untuk membunuh tersebut, nanti akan dibawa P.Mangkubumi ke Yogyakarta sebagai pusaka kraton dan diberi nama Tombak Kyai Klerek.


PADA MASA PERJANJIAN GIYANTI

Setelah Mataram dipecah sigar semangka dalam Perjanjian Giyanti (1755) sebagai konsekuensinya maka wilayah Bagelen juga dibagi antara kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan batas yang tidak begitu jelas.

Foto. Peta hasil perjanjian Giyanti

Pembagian yang tumpang tindih serta ketidakjelasan dalam batas wilayah sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal. Misalnya, terjadi perebutan tanah lungguh oleh para Gunung atau pembesar tanah yang ditugasi oleh keraton.

Sebagai wilayah Negaraagung pada masa Kerajaan Mataram, pembagian wilayah Bagelen pasca Perjanjian Giyanti juga hampir sama, yaitu  sebagai berikut:

a. Tanah Mahosan Dalem yaitu tanah lungguh milik raja.

Untuk Kesultanan Yogyakarta meliputi Bapangan (Jenar), Semawung (Kutoarjo), Ngrawa, Watulembu, Lengis (Kedungkamal, Grabag), Selomanik (Wonosobo), dan Semayu.

Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Tanggung (Cangkrep), Wala (Ambal), Panjer (Kebumen), dan Tlaga.

b. Tanah lungguh yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat kerajaan.

Untuk Kasultanan Yogyakarta meliputi Loano, Blimbing (Karanganyar), dan Rama Jatinegoro (Karanganyar).

Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Merden dan Kutowinangun.

c. Daerah kerja Gladak yaitu daerah yang penduduknya dikenakan wajib kerja di istana atau hutan.

Untuk Kasultanan Yogyakarta terletak di Selomerto dan untuk Kasunanan Surakarta terdapat di Gesikan (Kutoarjo).

d. Tanah bagi para pemuka atau lembaga keagamaan dan penjaga makam yang menjaga makam keramat. Penentuannya bergantung pada kebijakan masing-masing penguasa lokal.


Wilayah yang tumpeng tindih ini seringkali menimbulkan konflik. Misalnya wilayah Tanggung atau Ketanggung di Bagelen, pada awalnya dikuasai oleh Kasultanan Yogyakarta di bawah Tumenggung Gagak Pranolo II. Tetapi suatu ketika terjadi sebuah intrik dimana Tumenggung terbunuh dan digantikan oleh penguasa baru yang berasal dari Kasunanan Surakarta yaitu Reksodiworyo yang bergelar Tumenggung Tjokrojoyo. Ini menjadi awal timbulnya persaingan antara penguasa lokal yang diangkat Kasunanan dan Kasultanan.

Kondisi Bagelen pasca Perjanjian Giyanti yang mengakibatkan tanah lungguh milik Kasultanan dan Kasunanan saling tumpang tindih membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Batas yang tidak jelas membuat keamanan sulit dikendalikan. Misal, penjahat yang melakukan kejahatan di wilayah Kasultanan, dapat melarikan diri dengan mudah ke desa di wilayah Kasunanan karena Tamping (polisi desa) Kasultanan tidak dapat memasuki wilyah Kasunanan, begitu pula sebaliknya.

BAGELEN  SETELAH PERANG DIPONEGORO (1830)

Ketika berlangsungnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), Bagelen yang merupakan wilayah persengketaan antar
elite Jawa dan elite Kolonial, juga merupakan tempat atau ajang penyusunan kekuatan pasukan pengikut Diponegoro. Oleh karena itu
trauma perang Diponegoro selalu membayangi Pemerintah Kolonial di wilayah ini.

Setelah ditandatanganinya kontrak politik 27 September 1830, sebagai akibat dari kekalahan Perang Jawa, terjadilah apa yang disebut sebagai "peralihan nagari", yaitu terlepasnya “mancanegara” Bagelen yang semula merupakan lumbung padi bagi Kasultanan Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta. (Sebagai kompensasi atas biaya dan kerugian yang sangat besar diderita VOC, sekaligus hukuman terhadap baik Yogya maupun Surakarta).

Dengan ditandatanganinya perjanjian 22 Juni tahun 1830 yang kemudian disusul dengan perjanjian 3 November 1830, Bagelen resmi
menjadi wilayah Residensi Belanda, hanya beberapa bulan setelah selesainya Perang Jawa. Pusat pemerintahan adalah di Brengkelan (Brinkeleen) sebagai ibu kota.

Baru setelah tanggal 23 Agustus 1832, sejak Adipati Tjokronegoro I yang diangkat oleh Van den Bosch menjadi Bupati I di Brengkelan, daerah Bagelen mulai dibangun dan ditingkatkan, dan kemudian wilayah Bagelen dijadikan Karesidenan (lihat peta).


Ibu kota yang semula di Brengkelan dipindahkan di Kedung-Kebo, bekas benteng stelsel Perang Diponegoro (tangsi VOC), namanya kemudian diganti yang menjadi Purworejo.

Wilayah tradisional Bagelen yang sebelumnya hanya meliputi Purworejo dan Kebumen,  setelah menjadi Residensi Bagelen kemudian diperluas, dan terdiri atas Afdeeling Purworejo, Kebumen serta Wonosobo.

Wonosobo yang dulu terdiri dari Ledok dan Gowong, awalnya merupakan bagian wilayah yang terpisah dari Bagelen.

RESIDENSI BAGELEN DIGABUNG KE KEDU (1901)

Kedudukan Bagelen sebagai sebuah karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan digabung dengan Residensi Kedoe di utara (Afdeeling Temanggoeng & Afdeeling Magelang).

Dengan demikian terhapuslah nama besar Bagelen, mulai dari nama negaragung Mataram (1600-1755), mancanegara Surakarta & Yogyakarta (1755-1830), lalu menjadi residensi (1830-1901) dan akhirnya digabung dengan Residensi Kedoe (mulai 1901) sehingga akhirnya hanya menjadi nama Kecamatan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah (saat ini).


 Setelah Perang Diponegoro dan penyerahan bang wetan dan bang kulon kepada VOC Bagelen masih berstatus daerah yang disebut "Wilayah” (dalam bahasa Belanda ”Provinsi”) yang dibagi menjadi lima kabupaten:
1. Ketanggung (ketangong),
2. Semawung(Semawong),
3. Kutowinangun(Koetowinangon),
4. Remo, dan
5. Ambal.

Dengan 23 distrik, dan pusat pemerintahan di Brengkelan (Brinkeleen)
sebagai ibu kota.

Baru setelah tanggal 23 Agustus 1832, sejak Adipati
Tjokronegoro I yang diangkat oleh Van den Bosch menjadi Bupati I di Brengkelan, dan dilantik kolonel Clerens daerah Bagelen mulai dibangun dan ditingkatkan, dan
kemudian wilayah (provinsi) Bagelen dijadikan Karesidenan. Ibu kota yang semula di Brengkelan dipindahkan di Kedung-Kebo, yang
kemudian disebut Purworejo. Organisasi kepemerintahan ada di
bawah kekuasaan dua daerah karesidenan. Khusus mengenai urusan
keuangan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Karesidenan Kedu,
sedangkan untuk urusan lainnya ada di bawah kekuasaan karesidenan
Banyumas.
Daerah yang semula dibagi lima kabupaten, kemudian dibagi
menjadi empat afdeeling yang terdiri dari 6 (enam) kabupaten, 23 (dua
puluh tiga) distrik, tiap-tiap distrik dibagi menjadi banyak desa dan kampung (daerah-daerah administratif yang terkecil).

Afdeeling pertama meliputi dua kota kabupaten yang dijadikan pusat pemerintahan, yaitu Purworejo sebagai kota karesidenan dan Kutoarjo
sebagai kota kabupaten. Daerah sekitar Purworejo disebut daerah
kabupaten Purworejo dengan ibukota Purworejo, dan daerah sekitar
Kutoarjo disebut daerah kabupaten Kutoarjo dengan ibukota Kutoarjo.
Yang termasuk Afdeeling Purworejo, masa sebelumnya adalah
kabupaten Ketanggung dan Semawung. Afdeeling ke dua adalah
Afdeeling Kebumen dan Karanganyar. Kabupaten Kebumen
sebelumnya dinamakan kabupaten Kutowinangun, dan Kabupaten Karanganyar sebelumnya dinamakan Kabupaten Remo. Afdeeling ke
tiga adalah Afdeeling Ambal, daerah pinggiran pantai selatan
memanjang dari timur ke barat yang dulu merupakan bagian selatan
dari daerah-daerah Kabupaten Ketanggung, Semawung,
Kutowinangun, dan Remo. Afdeeling ke empat adalah Afdeeling Ledok,
sebelumnya dinamakan Urut Sewu, Ibukota Tlogo, yang kemudian
menjadi Wonosobo.
Daerah Afdeeling Ambal dan Ledok masing-masing dipegang
oleh seorang asisten Residen.

Pemerintah tertinggi daerah Karesidenan
Bagelen dipegang oleh seorang residen. Residen yang pertama adalah
Ruikenar, yang berkedudukan di Purworejo. Di samping jabatan
residen ada asisten residen dan bupati. Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda pada waktu itu mengangkat orang-orang Belanda dan juga
orang-orang pribumi untuk menjadi pejabat tertentu dan ditempatkan
di daerah Karesidenan Bagelen. Jabatan-jabatan seperti sekretaris
karesidenan, kepala kantor, antara lain Kantor pelelangan, Yayasan
Yatim Piatu, dan Balai Peninggalan Harta Benda dari Kantor Cabang di
Semarang; juga sebagai notaris, penarik pajak, juru sita, diberikan
kepada orang-orang Belanda, sedangkan jabatan-jabatan seperti
penghulu dan hakim diberikan kepada pribumi.

Pada tahun 1855 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan
Reglement op het Bieleid der Regering van Nederandsch-Indie (RR.) S. No. 2
tahun 1855 yang dapat dianggap sebagai UUD Hindia Belanda.
Dengan RR tahun 1855 ini pemerintah Kolonial Hindia Belanda
berusaha mengatur birokrasi pemerintahan daerah secara rasional,
yaitu menyusun suatu hirarki pemerintahan dari pusat ke daerah-
daerah dengan asas dekonsentrasi. Wilayah Hindia Belanda dibagi
menjadi wilayah-wilayah administratif; Gewesten, Afdelingen,
Onderafdelingen, district, dan Onderdistrict. Pejabatnya terdiri dari
Gubernur, Residen yang dibantu oleh asisten residen, dan kontrolir. Di
Jawa mereka membawahi Bupati di setiap kabupaten, Bupati
membawahi Wedana, wedana membawahi camat, dan camat
membawahi Kepala Desa. Pembagian wilayah yang semula empat
Afdeeling berubah menjadi lima Afdeeling, enam kabupaten, dua puluh
tiga distrik, dan tiga ribu delapan puluh delapan (3.088) desa dan kampung. Kabupaten Kutoarjo yang semula masuk wilayah Afdeeling
Purworejo kemudian dijadikan Afdeeling baru.

Pada tahun 1865 sampai dengan 1868 pembagian daerah
administratif masih tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, lima
Afdeeling, enam kabupaten dan dua puluh tiga (23) distrik, sedangkan
jumlah desa dan kampung mengalami penyusutan, yakni sebanyak
empat ratus enam puluh tiga (463) desa dan kampung. Afdeeling
Purworejo, Kutoarjo, Ambal dan Ledok masing-masing dinamakan
daerah dan kabupaten, sedangkan Afdeeling Kebumen dibagi menjadi
Kabupaten Kebumen dan Karanganyar. Dalam perkembangan
selanjutnya pada tahun 1869-1872 Karesidenan Bagelen dibagi menjadi
enam Afdeeling, enam kabupaten, 23 distrik dan di beberapa desa dan
kampung mengalami perubahan.

By. N.Kumolo Adi

Sumber :
1. P.M. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985, hlm. 64.

 2. V.W.J.an Der Meulen, Indonesia Diambang Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 67.

3. S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 1.

 4. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 229-230

 5. Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Sosial, 2000, hlm. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kutoarjo

Desa Tursino Kutoarjo di dalam kanccah perang jawa juga tercatat di Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R.A.A. Tjokronegoro I Bupati Pertama Purworejo

  Di Dalam Babad Kedungkebo Pupuh XXIX Dhandanggula bait syair nomor 23-56 karya Ngabehi Reksodiwiryo alias Kyai Adipati Tjokrojoyo alias R....

Kutoarjo